Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi
BAGIAN 2
SwaraSenayan.com. Jadi pemerintah tidak punya banyak pilihan. “Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah “The Death of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah menjadi public services management.
Yang pasti high-cost bureaucarcy pada akhirnya berakibat pada kesengsaraan rakyat dan punahnya peran pemerintah.
Sebenarnya, dalam “economy circle” (lingkaran ekonomi) di era pasar bebas, dimana kekuatan kapital sangat dominan, maka peran pemerintah adalah penyeimbang lingkaran ekonomi tersebut.
Kalau diterjemah secara kongkrit, maka tugas besar pemerintah adalah pelindung lapisan masyarakat yang paling bawah melalui berbagai bentuk insentif kesejahteraan sosial ekonomi (welfare program) tidak hanya melalui sumbangan pajak dari mereka yang kuat, namun lebih dari itu melalui korporasi kerakyatan yang terorganisir dengan sistem berbasis multimedia sehingga rakyat juga bisa merasakan nilai tambah secara langsung tanpa melalui tangan-tangan elite politik dan partai-partai.
Ali Mazrui, Direktur Institute of Global Cultural Studies di Universitas Binghamton, USA, melihat adanya empat mesin (engine) globalisasi, yaitu agama, teknologi, ekonomi dan imperium (politik). Tapi yang menonjol adalah globalisasi karena teknologi, khususnya teknologi informasi dan telekomunikasi, yang mendorong globalisasi kapital untuk melakukan penetrasi ke seluruh dunia mencari tempat yang paling menguntungkan. Mesinnya adalah korporasi multi-nasional.
Memang korporasi multi-nasional adalah bentuk “negara” baru di era globalisasi. Maka, kalau negara-bangsa mempunyai peta geografi secara fisik. Peta tersebut kini diatasnya terdapat peta ekonomi yang merangkai kekuatan korporasi multinasional.
Dewasa ini kekuatan yang ada masih pada sistem dan teknologi. Lalu banyak yang mengatakan adanya pergeseran dari kekuatan sumberdaya (resource-based economy) menjadi kekuatan ilmu pengetahuan (knowlegde-based economy).
Persaingan yang ketat sebenarnya masih terjadi pada sumberdaya mineral, sumberdaya alam karena peta politik dunia masih didominasi oleh kekuatan sistem keuangan global yang erat dibarengi oleh perdagangan emas dan minyak.
Disanalah ketimpangan antara pemilik sumberdaya mineral dengan pemilik teknologi dimulai. Karena mereka yang tidak memiliki kekayaan alam justru yang menikmatinya melalui sistem keuangan global yang mereka ciptakan.
Noam Chomsky pernah melakukan riset tentang volume perdagangan antar negara yang disebut dengan ekspor impor, kenyataannya adalah 80% dilakukan oleh korporasi multi nasional. Dan inilah sektor formal yang diperhitungkan dalam indikator-indikator ekonomi makro seperti GNP, GDP, dll. Padahal kalau kita kembali menempatkan fokus pada manusianya, setidaknya untuk Indonesia, yang juga terjadi di negara-negara berkembang lainnya, jumlah sektor informal, yang tidak diperhitungkan dalam indikator ekonomi makro, adalah mayoritas.
Di Indonesia tercatat 99.9% karena konglomerat hanya 200 orang dibanding dengan 220 juta warga negara. Bagi para pemikir strukturalis, realita ini dianggap sumber masalah. Saya lebih cenderung memilih aliran rekonstruksionis yang melihat ini sebagai peluang.
Bagi pemerintah yang cerdas, ini adalah peluang dalam tarik-menarik kekuatan menuju “borderless world”, “the end of nation-state” dan lain-lain yang katanya fungsi pemerintah akan tergeser oleh mekanisme pasar.
Hanya saja, pemerintah tidak mungkin dengan terus mempertahankan cara-cara lama. Kita harus berpikir “out-of-the-box”, bahkan kalau dalam buku “Blue Ocean Strategy” (Strategi Samudra Biru) disebut sebagai mencipta ruang pasar baru. Pemerintah juga jelas pasarnya, yaitu rakyat, jadi peranannya jauh lebih sederhana.
Tinggal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana tuntutan MDG (Millenium Development Goals). Masih mengacu kepada “Blue Ocean Strategy”, kalau disitu dikatakan bagaimana membuat kompetitor tidak lagi relevan, maka sesungguhnya peran pemerintah adalah mudah sekali, karena pada dasarnya kompetitornya tidak ada.
Pemerintah itu bentuk monopoli kekuasaan. Semua sudah ada di tangan. Jadi jauh lebih mudah menerapkan strategi baru tersebut.
Adalah benar juga adanya global paradoks, dimana korporasi multi-nasional juga lah yang ikut membangun kesadaran sosial secara global. Inisiatif seperti Green Peace, One Earth for All, Soil Association, Friend of Universe, dll, terus berkembang pesat menjadi gerakan yang juga mendunia. Ini juga peluang untuk berkolaborasi secara global.
Mekanisme pasar yang sekaligus menunjukkan peranannya secara nyata dalam hal distribusi sosial, sehingga bisa dibilang mendorong terjadinya “the death of government” bukan tidak mungkin, sebuah nation-state baru yang berbasis “wired-society” terbentuk secara pasti menurut dorongan pasar.
Inilah negara baru yang akan kita hadapi dalam waktu tidak lama lagi. Berbagai model persaingan layanan masyarakat, semakin hari semakin menunjukkan kecanggihannya. Siapa yang pandai memikat hati rakyat dengan berbagai produk dan layanan (jasa), dialah yang akan berhasil membentuk negara baru.
Fenomena GOJEK, UBER, AIRBNB, dll yang mengubah tatanan sosial dalam interaksi bisnis dan sosial tidak bisa dibendung, suatu keharusan jaman karena dipaksa oleh teknologi. (Bersambung Bagian 3). ■ss