Oleh: Alvituns Minggu, M.Si., Alumni IMagister lmu Politik Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta
SwaraSenayan.com. Baru-Baru ini tepatnya Jum’at, 11 Oktober 2019 Jokowi dan Prabowo melakukan pertemuan di Istana. Pertemuan tersebut mengundang perhatian berbagai kalangan masyarakat. Berbagai spekulasi politik bahwa pertemuan itu memiliki makna politis dimana Jokowi mengundang Prabowo ke Istana bersamaan tinggal 9 hari lagi acara pelaksanaan pelantikan atas dirinya sebagai presiden terpilih untuk masa bakti 2019-2024.
Kedua tokoh tersebut berada di Istana tampil dengan penuh mesra seolah-seolah tidak ada beban politk dalam diri masing-masing. Sementara masyarakat Indonesia telah mengetahui bahwa keduanya pernah terlibat dalam kontestasi politik pada pemilu 2019 lalu dan Prabowo sebagai rival politik Jokowi.
Namun dengan pertemuan yang disaksikan jutaan masyarakat Indonesia itu membuat segala macam prasangka buruk yang dialamatkan kedua tokoh nasional itu menjadi terhapus dalam benak masyarakat Indonesia yang anti terhadap Jokowi maupun terhadap Prabowo.
Pertemuan Jokowi dengan Prabowo memang tidak terlepas dari unsur politik apa lagi pertemuan itu menjelang moment pelaksanaan pelantikan Jokowi yang sedianya dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2019 mendatang.
Peristiwa politik itu dianggap sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas nasional agar proses pelaksanaan pelantikan presiden Jokowi dapat berjalan sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan KPU serta terbebas dari virus-virus gerakan radikalisme yang berpotensi besar untuk menggagalkan proses pelaksanaan pelantikan presiden.
Sisi politik, pertemuan kedua tokoh nasional antara Jokowi dan Prabowo di Istana sebagai konsolidasi politik dan silaturahmi upaya untuk menurunkan tensi politik yang selama ini cenderung naik sebagai dampak dari pertarungan politik pilpres tanggal 17 April 2019 lalu.
Kehadiran Prabowo di Istana yang disambut hangat Jokowi ingin menunjukkan kepada publik bahwa kedua tokoh nasional ini tidak berlarut dalam permusuhan politik yang berkepanjangan. Pertemuan tersebut dapat dilihat sebagai simbol keharmonisan politik yang tetap mengedepankan nilai politik kebangsaan dan nilai politik nasionalisme dalam rangka untuk menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
Sisi lain pertemuan itu merupakan titik awal terjadinya peleburan kepentingan politik antara kelompok Jokowi dan kelompok Prabowo. Dengan asumsi pasca pelantikan presiden, partai Gerindra berupaya ditarik masuk ke dalam gerbong pemerintahan Jokowi dengan tujuan untuk mengimbangi kekuatan oligark dan kekuatan oligarki di Istana.
Bahkan tokoh seperti Prabowo bertugas untuk mengendalikan kekuatan itu yang selama ini terkesan Jokowi mengalami kesulitan untuk mengendalikannya. Atau kehadiran Prabowo di Istana merupakan praktek ril menggambarkan bahwa keduanya sedang terlibat dalam pertukaran kepentingan politik dan kepentingan ekonomi pada pilpres 2024. Skenarionya PDIP dan Gerindra akan berkolaborasi kepentingan politik calon presiden dan wakil presiden pada pemilu pilpres mendatang.
Pertemuan tersebut bukan tanpa ada alasan sebab pasca sidang gugatan hasil pilpres di mahkamah Konstitusi Jokowi pernah mewacanakan untuk melakukan rekonsiliasi dengan kelompok Prabowo. Dengan demikian kehadiran Prabowo yang diundang Jokowi ke istana tidak terlepas realisasi dari gagasan sebelumnya.
Pertemuan tersebut meskipun belum mengetahui secara pasti apa inti dari hasil pertemuan kedua tokoh tadi akan tetapi persepsi publik menilai bahwa pertemuan itu sebagai langkah untuk membicarakan berbagai hal tentang kondisi bangsa yang akhir-akhir ini berindikasi cenderung berpotensi mengancam stabilitas Nasional seperti muncul berbagai demonstrasi mahasiswa, kerusuhan di Wamena Papua, kasus teroris, dan terakhir adalah kasus penusukan terhadap Menkopolkan Wiranto di Pandegelang Banten. Semua ini dapat dikategorikan sebagai ancaman serius terhadap NKRI.
Terlepas pro dan kontra terkait dengan pertemuan antara Jokowi dengan Probowo sesungguhnya pertemuan itu merupakan bagaian dari konsep pemetahan kapling politik yang berindikasi kelompok Prabowo ikut ambil bagian untuk berpartisipasi dalam pemerintahan Jokowi 5 tahun mendatang.
Hal ini menunjukkan partai gerindra baru-baru ini yang telah mendapat jatah kursi yaitu menjadi salah satu wakil ketua di MPR sehingga tidak salah juga sebagaimana apa yang dikemukakan dalam teori Harold Dwight Lasswell, ia menjelaskan politik itu bicara siapa mendapatkan apa dan bagaimana untuk mendapatkannya dan di mana untuk mendapatkan itu serta dengan cara apa untuk memperolehnya.
Pertemuan keduanya merupakan pengalaman berharga bagi kita semua sebagai anak bangsa terutama bagi tokoh-tokoh politik nasional lain yang patut kita apresiasi bersama. Mudah-mudahan fenomena ini menjadi inspirasi bagi elit-elit politik bangsa ini yang cenderung akibat kekalahan dalam pertarungan politik itu menjadi permusuhan berkepanjangan yang tak berakhir.
Kekalahan dalam pertarungan politik untuk merebut kekuasaan bukanlah akhir dari sebuah perjuangan akan tetapi kekalahan politik merupakan proses menuju kehidupan baru yang hendak itu diperbaiki demi mewujudkan cita-cita politik berbasis nilai kebangsaan dan nilai nasionalisme.
Hanya dengan cara inilah kita bisa hidup berdampingan, hidup bertoleransi, sikap saling menghormati dan menghargai satu sama lain sehingga kedamain di negeri ini dapat terwujud dengan baik. *SS