Mencoret OSO Dari Daftar Caleg DPD, Petrus: KPU Memainkan ‘Grand Design’ dan Konspirasi

Ayo Berbagi!

SwaraSenayan.com. Pembangkangan Ketua KPU RI terhadap Putusan PTUN Jakarta yang bersifat final dan mengikat terkait Pelanggaran Administrasi Pemilu 2019 yang dilakukan oleh KPU terhadap Oesman Sapta Odang (OSO) akan menjadi preseden buruk dalam sistim penegakan hukum dan demokrasi.

Demikian ditegaskan oleh Petrus Selestinus selaku Koordinator TPDI dan Advokat PERADI ketika dihubungi SwaraSenayan, Kamis (7/2/2019).

“Apalagi sikap pembangkangan itu dilakukan oleh KPU sebagai institusi negara yang kalah perkara karena terbukti keputusannya yang mencoret nama OSO dalam daftar caleg tetap DPD RI sebagai tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik,” terang Petrus.

Apapun alasannya, kata Petrus, ketika putusan PTUN telah berkekuatan hukum tetap, apalagi putusan itu bersifat final dan mengikat, maka KPU atau siapapun tidak lagi mempunyai pilihan lain selain harus tunduk dan taat untuk melaksanakan putusan PTUN itu.

Oleh karena itu, menurt Petrus, Ketua Pengadilan TUN Jakarta, sesuai dengan kewenangannya (pasal 119 UU Peratun) wajib hukumnya untuk mengawasi pelaksanaan putusannya dan memberikan teguran keras kepada KPU, agar secara sukarela segera melaksanakan isi putusan PTUN yaitu mencantumkan kembali nama OSO dalam DCT calon perseorangan anggota DPD pada pemilu 2019.

“Sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap dan bersifat final and binding, maka KPU seharusnya sudah melaksanakan putusannya itu dalam tiga hari setelah putusan diucapkan tanpa harus dilakukan upaya paksa,” tegasnya.

Namun kenyataannya, lanjut Petrus, sikap KPU masih menunda-nunda bahkan menarik pihak luar mencari dukungan hanya sekedar melawan prinsip kepastian hukum yang sudah dimiliki OSO.

“Sikap KPU melakukan konsultasi dengan MK sekedar untuk tidak melaksanakan putusan PTUN Jakarta, patut disesalkan, karena MK juga mendorong KPU untuk melanggar hukum,” papar Petrus.

Petrus menjelaskan, secara hirarki KPU bukanlah bawahan MK, begitu pula PTUN bukanlah bawahan MK, karena itu konsultasi yang dilakukan oleh KPU dengan MK harus dipandang sebagai sebuah “grand design” dan konspirasi untuk menjatuhkan lembaga DPD RI, menodai Nawacita di bidang hukum apalagi mengadu domba antara MK dengan MA, karena yang dikonsultasikan itu adalah putusan MA dan PTUN Jakarta yang telah memenangkan OSO dan sudah memperoleh kepastian hukum, terlebih-lebih MA dan PTUN  tidak memiliki hubungan secara hirarkis dengan MK.

Petrus meminta Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta seharusnya memberikan teguran keras kepada KPU, karena telah menunda-nunda pelaksanaan putusan PTUN yang bersifat final dan mengikat untuk mencantumkan kembali nama OSO ke dalam DCT pada pemilu 2019.

Hingga bulan kedua sejak putusan PTUN Jakarta diucapkan, KPU belum mau melaksanakan isi putusan dimaksud, malahan KPU kesana kemari mencari dukungan atas sikap pembangkangannya terhadap Putusan PTUN Jakarta.

“Ini jelas merupakan pelanggaran etika dan hukum oleh penyelenggara Pemilu yang menjadi wewenang DKPP dan penegak hukum untuk melakukan penindakan,” pungkasnya. *SS

Ayo Berbagi!