Membangun dan Mentradisikan Politik Kekeluargaan

Ayo Berbagi!

Oleh: Djafar Badjeber (Wakil Direktur Penggalangan dan Penjaringan Tim Kampanye Nasional Jokowi – Ma’ruf Amin)

SwaraSenayan.com. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang penuh kekeluargaan dan kegotong-royongan dalam kesehariannya. Bahkan jauh hari sebelum bangsa ini merdeka dan terbentuknya negara, kekeluargaan Indonesia sudah terbangun. Maka ketika kelompok nasionalis dan diluar Islam menolak Piagam Jakarta, kelompok Islam “mengalah” dan menerima Pancasila sebagai dasar negara yang kita pakai sampai saat ini. Sikap politik kelompok Islam tersebut jauh lebih penting dan strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara, dalam dinamika berbangsa saat ini munculnya Gerakan #2019GantiPresiden adalah hal tidak penting dan strategis. Gerakan ini sudah menyeret-nyeret umat Islam untuk justifikasi dan eksistensinya dalam memperoleh dukungan publik. Padahal umat Islam dalam kesejarahannya tidak ambisius dengan kekuasaan. Umat Islam  tidak perlu terbawa arus dengan mereka yang ambisius dengan kekuasaan. Karena gerakan yang dibangun dengan ambisi kekuasaan, saya yakin, haqqul yakin begitu kelompok mereka menang dan berkuasa umat Islam akan ditinggalkan. Islam hanya dijadikan bemper dan mendorong mobil mogok.

Dalam catatan sejarah gerakan reformasi telah merubah poros politik.Era reformasi telah banyak menguntungkan umat Islam dan menempatkan kelompok Islam naik ke panggung politik nasional. Buktinya Amin Rais jadi Ketua MPR RI, Gus Dur jadi presiden, Hamzah Haz jadi wakil presiden, Jusuf Kalla jadi wakil presiden 2 kali, dan sekarang KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden bersama calon presiden H. Joko Widodo.

Ini langkah kongkrit, dan sudah terbukti untuk menghimpun dan mengembalikan eksistensi politik umat Islam. Kebetulan pemimpin dari kalangan Islam di atas dikenal sebagai Islam moderat. Sementara, calon presiden dan wakil presiden “kubu sebelah” tidak masuk kedalam kategori kesejarahan pergerakan politik berbasis umat Islam. Gerakan yang dibangun hanya ketemu kebetulan dalam sebuah komunitas. Mungkin ada kepentingan tertentu. Ada kebutuhan jangka pendek, yaitu kekuasaan.

Melihat fenomena tersebut, saluran politik umat Islam lebih baik masuk kepada kelompok yang sudah pasti dan jelas dalam membangun kekuatan politik Islam, yaitu dukung calon wakil presiden KH Ma’ruf Amin yang memiliki basis keummatan di bidang dakwah, pendidikan dan sekarang sedang berijtihad melalui politik demi kemaslahatan umat.

Disini bukan lagi janji tetapi sudah nyata dan kongkrit.  Disini bukan akan, bukan dusta, disini sudah terbukti mengakomodir ijtima’ ulama. Tanpa diminta kepada Joko Widodo, dia telah memperhatikan aspirasi umat islam. Ini membuktikan politik Joko Widodo adalah politik akomodatif yang lebih bernafaskan keumatan.

Serangan hoax dan fitnah kepada Joko Widodo adalah politik membabi buta. Politik tidak sesuai fatsun dengan ajaran Islam. Bagaimana mungkin politik seperti itu mewakili umat Islam atau dihubung-hubungkan dengan mayoritas umat Islam. Karena Islam itu penuh cinta kasih, cinta damai, cinta rukun dan adab, cinta tanah air.  Kominitas yang mengaku wakil umat Islam pasti dia tahu ajaran Islam. Dia tidak mungkin menyimpang. Yang menyimpang itu biasanya yang berbasiskan ideologis tertentu yang memiliki agenda serta tujuan tertentu.

Baca Juga: http://www.swarasenayan.com/pencak-silat-menyejukkan-suhu-politik-hanura-politik-kebangsaan-itu-menyatukan/

Bila mencermati Asian Games yang baru saja berlangsung, sungguh sangat menggugah, sangat membangkitkan nasionalisme. Begitu juga seharusnya kita membangun kehidupan politik kebangsaan, yaitu politik kekeluargaan, politik keberadaban seperti yang ditunjukan Joko Widodo dengan Prabowo Soebianto saat selebrasi Hanifan Yudani Kusumah atlit pencak silat dalam Asian Games, menyatukan dan mengakrabkan. Simbol kekeluargaan bangsa Indonesia. Begitu seharusnya politik kebangsaan dibangun, bukan memecah belah.

Mudah-mudahan suasana dan semangat Asian Games tersebut bisa merubah sikap, pola fikir dan mental sebagian orang kita agar tetap menjaga politik kekeluargaan seperti penonton Asian Games ada yang Hanura, Nasdem, PKB, Golkar, PDIP, Gerindra, PPP, PKS, PAN, PSI, PKPI, Perindo, ada yang NU, ada yang Muhammadiyah, ada yang Al-Washliyah, ada Nahdlatul Wathon, ada yang PMKRI, ada HMI, ada PMII, ada Ansor, ada Pemuda Budhis, ada Pemuda Hindu, pemuda etnis dari berbagai daerah, dan seterusnya.

Begitulah politik harus dibangun dengan kebersamaan, kekeluargan dan satu nasionalisme, satu Indonesia. *SS

Ayo Berbagi!