Memaknai Hari Raya Idhul Fitri Sebagai Hari Pembebasan

oleh -93 Dilihat
oleh
Effendi Ishak
banner 468x60

Oleh : Effendi Ishak

SwaraSenayan.com – Memasuki 1 Syawal 1439 H atau 15 Juni 2018, dalam ajaran Islam adalah  hari dimana telah berakhirnya seorang muslim dalam menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Itu sama artinya telah berakhirnya bulan Ramadhan dengan  segala aktivitas ibadahnya yang  diwajibkan, terutama  berpuasa di siang hari. Segala aktivitas Ramadhan dengan puasa sebagai salah satu ibadah utamanya, di isyaratkan agar manusia  dalam hidup di dunia ini, kembali ke fitrahnya yang hakiki. Karena itu, memasuki bulan  Syawal, yaitu pada hari pertama bulan tersebut, dirayakan sebagai hari perayaan tentang kembalinya manusia ke fitrahnya , atau hari raya Idhul Fitri.

banner 336x280

Hari raya idhul fitri, merupakan  perayaan  hari kemenangan dan keberhasilan  manusia untuk kembali ke fitrahnya yang asli atau autentik. Sedangkan fitrah manusia dalam hidup ini, adalah agar : (1) kembali kepada  agama tauhid ( Islam ) yaitu agama yang mengesakan dan hanya  menyembah Allah SWT, (2) serta  menjalankan segala apa  yang diperintahkanNya. Esensi persoalan fitrah ini, Surah Ar Rum (30), ayat 30 : ” maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus  kepada agama (Islam), sesuai fitrah Allah, disebabkan Allah telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.”

Agar manusia dapat kembali kepada fitrah aslinya yang hakiki, maka meminjam model teoretisasi, seorang sosiolog islam , Ali  Syari,ati Ph.D , maka sang manusia tersebut harus mampu keluar dari empat rintangan atau penjara yang mengekang dan mengepung manusia tersebut. Penjara itu adalah : (1) kondisi fisik alam tempat bermukimnya, (2) akumulasi  sejarah yang melingkupinya, (3) keadaan dan lingkungan masyarakat, (4) ego diri, khususnya  yang merupakan perwujudan dari nafsu yang tidak dirakhmati Allah. ( Ali Syari,ati,  Ph.D 1972 ).

Baca juga: https://www.swarasenayan.com/puasa-dan-kesadaran-perjalanan-eksistensial-manusia/

Baca juga: https://www.swarasenayan.com/memformulasikan-pemilu-yang-berkualitas/

Empat penjara yang melingkupi  bagi setiap individu manusia , adalah sesuatu yang harus direspon dan dijawab serta diatasi  oleh manusia agar manusia kembali ke fitrahnya yang autentik, yaitu sebagai hamba Allah yang hanif, yaitu  adalah hamba yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tidak pernah meninggalkan kebenaran itu, sebagai mana yang diteladankan nabi Ibrahim AS, ( An Nahl, ayat 120 ).

Agar manusia kembali kepada fitrahnya, Pertama, dia harus merenungi alam lingkungan fisik yang melingkupi tempat tinggal dan bermukimnya. Manusia harus mampu menundukkan tantangan pada alam fisik lingkungannya, agar dia dapat mengendalikannya , menyelaraskannya serta kemudian mengambil manfaat yang sebesar besarnya dengan  mempelajari hukum kausalitas atau hukum sebab akibat  yang dikenal dengan sunnatulah yang melekat pada  kondisi alam itu, kemudian  digunakan sebagai sarana untuk realisasi dirinya sebagai hamba yang Hanif atau setia kepada kebenaran Ilahi. Bukan sebaliknya, keadaan alam lingkungan : rindang dan kokohnya pepohonan, curam dan tingginya gunung, tebing tebing yang terjal , hutan belantara yang lebat, binatang binatang yang ganas dan buas, sungai yang deras dan lautan yang bergelombang besar , lalu semua diartikan sebagai yang mempunyai kekuatan mistis  tersendiri dan bisa membahayakan serta mampu memberi manfaat dan pertolongan pada manusia. Akibat menafsirkan dan memaknai  secara salah, maka kemudian   harus disembah dan diberikan sesaji tertentu, lalu dipuja dan kemudian jadi sesembahan atau dewa tertentu atau Tuhan tertentu. Maka sampai pada titik ini, terjadilah keyakinan palsu, atau agama palsu.  Manusia yang Hanif justru harus mampu mengatasi, mengendalikan, memaknai, memanfaatkan secara benar kondisi fisik alam ini. Kondisi fisik alam dengan segala tantangannya dan manfaatnya tidak lain adalah manifes kebesaran Allah , dan sebagai karunia Allah yang harus dimanfaatkan  sebesar besarnya untuk keberlangsungan  hidup hamba yang Hanif, untuk berkhidmat dan beribadah hanya kepada Tuhan yang Esa.

Sebagai penjara kedua adalah akumulasi sejarah yang melingkupi seorang manusia. Sejarah sebagai peristiwa masa lalu yang merupakan hasil interaksi dan respons  manusia atau masyarakat manusia  dengan keadaan lingkungan eksternalnya , melahirkan : bahasa, kebudayaan, sistim keyakinan atau agama atau tradisi, sistem ekonomi, sistem kekuasaan atau politik. Semua produk sejarah atau warisan sejarah itu, oleh manusia yang Hanif, kemudian sesungguhnya wajib dipertanyakan , dikritisi dan divalidasi kebenarannya , apakah semua produk produk sejarah itu, inti ajarannya dan konsep dasarnya  berorientasi pada tauhid atau pengesaan kepada Tuhan  atau sebaliknya pengingkaran pada Tauhid. Sang manusia Hanif secara tegar mengkritisi dan memvalidasi semua warisan atau produk sejarah itu dibawah naungan Wahyu Allah SWT dan sabda Rasul Allah. Karena sebagaimana lazimnya , seringkali produk sejarah sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan masyarakat saat itu. Maka terjadilah pemilahan dan seleksi atau pemurnian total terhadap produk produk sejarah yang ada atau ada juga yang diklasifikasikan sebagai warisan sejarah yang dipertahankan untuk dilestarikan karena validitas ketauhidannya. Dalam konteks ini, maka sejarah bagi manusia atau masyarakat manusia adalah dikatagorekan sebagai penjara.

Sebagai penjara ketiga adalah sistem dan kondisi masyarakat. Kondisi masyarakat eksisting pada umumnya mencerminkan nilai nilai atau tradisi tertentu yang digunakan atau yang sedang menjadi pegangan dan rujukan dalam hidup masyarakat. Nilai nilai yang berkembang dalam masyarakat adalah nilai nilai yang melandasi bekerjanya kelembagaan yang ada dimasyarakat. Nilai nilai jika dikaitkan dengan pemaknaan atas kehadiran Tuhan, maka sesungguhnya seorang Hanif atau hamba yang selalu berpegang kepada kebenaran Ilahiah, seyogyanya masyarakat yang diarahkan atau dimana dia bermukiman selalu diwujudkan dalam masyarakat yang religius bukan masyarakat yang sekuler, atau masyarakat yang semua komponen sosialnya mencerminkan ketuhanan yang maha esa  atau tauhid. Karena itu, hamba yang Hanif selalu mengusahakan terwujudnya nilai nilai masyarakat yang religius, agar dia dapat terhindar dari kungkungan masyarakat yang memenjarakannya yang berbasis nilai nilai sekuler atau masyarakat yang liberal – Atheistik.

Penjara Keempat adalah justru melekat dalam diri manusia sendiri. Yaitu ego diri, berupa nafsu yang menghujam dalam diri manusia sendiri tapi nafsu itu sebagai nafsu yang tidak dirakhmati oleh Allah SWT. Sebagai nafsu yang selalu mendorong kepada kejahatan bukan nafsu yang dirakhmati Allah, sebagaimana Surah Yusuf, ayat 53 : ” karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rakhmad oleh Tuhanku”. Sifat dan dorongan jahat dari dalam diri manusia yang muncul menjadi ego manusia, misalnya : sikap serakah dan pelit tatkala mimiliki kecukupan harta, sikap dengki, sikap curang dan khianat, tidak amanah kalau diberi amanah, riya dan sombong dan pamer untuk segala hal yang dirasa dianggap kelebihan diri sendiri sementara orang lain tidak punya, sikap intoleransi, dengki, tidak rendah hati atau arogan, tidak menjalankan perintah perintah Allah, pelit tapi juga serakah. Semua sifat sifat itu adalah sebagai dorongan nafsu atau ego diri manusia yang tidak dirakhmati Allah. Yang semuanya membuat manusia menjadi beban dalam pembentukan masyarakat yang religius.

Untuk menjadi manusia yang kembali pada fitrahnya , yaitu manusia yang mengarahkan  dan mengendalikan lingkungan alam fisik tempat bermukimnya , akumulasi sejarah yang diterimanya dengan sejumlah produk produk sejarah sebagai warisan yang harus diseleksi lalu ada bagian yang dilestarikan dan dimanfaatkannya serta lingkungan masyarakat dengan segala nilai nilai bawaannya yang ada dan kemudian diseleksi, ditolak atau dilestarikan sebagian atau direvisi untuk kemudian  diperbaharui. Atau semua upaya pengendalian pada ego yang bersumber dari nafsu nafsu yang negatif yang tidak membawa rakhmat bagi kehidupan atau nafsu yang tidak dirakhmati Allah. Keempat penjara itu dilewati oleh sang Hanif atau hamba Allah yang setia pada nilai nilai Tauhid.

Keberhasilan dalam memahami dan merenungkan empat jenis penjara manusia yang mengekang sang Hanif tadi, lalu kemudian keluar dari empat penjara tadi, dengan memenangkan risalah Tauhid yang dalam prakteknya dilakukan secara totalitas dengan puasa selama sebulan penuh untuk melatih dan menundukkan nafsu   nafsu manusia yang tidak dirakhmati Allah dengan amalan amalan lain yang amat dianjurkan seperti: shalat tarawih, i’tikap atau perenungan diri di masjid tentang apa telah dan sudah dilakukan dan apa lagi tugas berikutnya sebagai hamba yang Hanif,  melaksanakan zikir untuk mengingat dan mohon ampun kepada sang Khaliq pemilik dan penguasa sejati  alam Semesta ini, membaca Al Qur’an dan dengan  menghayati arti dan maknanya . Maka bila semua dilakukan terjadilah  outputnya  hari pembebasan atau hari dimana hamba yang Hanif merayakan hari itu, sebagai pembebasan dari penjara penjara kehidupan untuk penegasan kembali kepada fitrah manusia, sebagai hamba Allah SWT yang Hanif, yang setia pada kebenaran yang wahyukan.Tuhan melalui rasulnya. Dan hari itu dirayakan sebagai hari kembali ke fitrah hakiki kehidupan yang disebut hari raya kembali ke fitrah manusia atau Idhul Fitri. Wallahu alam bissawab. *SS

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.