Oleh : Moksen Idris Sirfefa (Ketua Bidang Agama dan Ideologi MN KAHMI)
“Dia, Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu siapa yang terbaik amalnya” (Qs. 67 : 2).
“Siapa yang tak rela dengan qadha dan qadar-Ku, sebaiknya ia mencari tuhan selain Aku.” (HR. Thabrani)
SwaraSenayan.com – Jumat kemarin, 2 Juli 2021 di sebuah masjid, seorang khatib mengingatkan para jama’ah agar jangan mengatakan seseorang mati karena Corona, tapi mati karena Allah. Penegasan ini terkait ayat ke-2 surat Al-Mulk yang ia bacakan di pembukaan khutbahnya. Menurutnya, kalau kita mengatakan mati karena Corona, kita bisa terjerumus pada kemusyrikan. Benar, syirik adalah dosa yang tidak diampuni Allah. Oleh sebab itu Islam mewanti-wanti umatnya jangan sampai menjadi musyrik. Tetapi coba bayangkan, jika dengan menggunakan cara berpikir si khatib ini, saya bertanya kepada anda, “si fulan mati karena apa?”, lalu anda jawab : “ia mati karena Allah,” mungkin saya akan menilai anda kurang waras. Sebab anda telah membawa Allah ke dalam perkara yang bukan pada tempatnya. Contoh lain, seseorang menyeberangi jalan raya tanpa menengok ke kiri dan ke kanan lalu ia tertabrak kendaraan yang lewat sangat kencang mengakibatkan ia mati. Lalu polisi datang menanyakan, “apa penyebab kematian korban?” Orang-orang di sekitar tempat kejadian perkara kemudian mengatakan ”Allah pak!” Apakah demikikan?
Problem Teologi
Masalah ini menandakan bahwa rukun iman dalam berislam kita belum sempurna. Ia hanya masih merupakan tata urutan rukun iman di atas kertas. Ia belum terkonsep di dalam pikiran apalagi tercermin di dalam perbuatan. Percaya kepada Allah, kepada para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, taqdir baik dan buruk mestinya menjadi satu kesatuan yang utuh di dalam keyakinan Muslim.
Ikhwal tentang “mati karena Corona atau mati karena Allah” akan memperoleh jawabannya yang jelas apabila kita benar-benar memahami makna qadha dan qadar alias taqdir di dalam rukun iman itu secara utuh. Soalan tentang ini akan membawa kita pada diskursus klasik teologi Islam sejak generasi kedua pasca Nabi.
Tetapi sebelum masuk kesana, saya ingin memberi pengertian yang sederhana tentang arti qadha dan qadar atau yang biasa disebut taqdir (baik dan buruk) agar kita memahami problem teologis ini secara baik. Kedua kata itu sering digunakan secara campur-aduk. Qadha adalah ukuran, keputusan, parameter, kehendak, kriteria, standar, ketentuan dan/atau sebab. Sementara qadar adalah wujud dari qadha tersebut berupa kepastian atau ketetapan. Jadi meskipun keduanya berbeda maknanya, namun saling terkait. Keduanya tergabung dalam makna taqdir yang kita imani. Ia adalah salah satu dari doktrin iman dalam Islam. Mereka yang belum memahami konsep ini dengan baik dapat dikategorikan imannya tak sempurna.
Matahari terbit di timur dan terbenam di barat. Terbit melahirkan siang (terang-benderang) dan terbenam melahirkan malam (gelap-gulita) dengan durasi masing-masing 12 jam. Ukuran waktu terbit dan terbenam serta proses perputaran bumi mengelilingi matahari adalah kehendak, kriteria, standar, ketentuan yang dimaksud dengan ( qadha ) tetapi di saat yang bersamaan, fenomena alam itu sendiri merupakan ketetapan ( qadar) tentang pergantian siang dan malam. Itulah taqdir yang berlaku untuk alam semesta. Lalu dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan orang kaya, miskin, pintar, bodoh, cacat, cantik, jelek. Bagaimana menyebutkan keadaan ini sebagai sebuah taqdir? Mari kita lihat.
Awalnya ada dua pandangan. Pertama, pandangan tentang kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan (free will and free act), dimana kebaikan atau kemudaratan ditentukan oleh manusia bukan Tuhan. Seseorang yang tidak mengikuti prosedur kesehatan (prokes), dipastikan ia terpapar virus Corona dan bisa membawanya pada kematian. Itu berarti manusia yang menentukan ia hidup atau ia mati. Paham ini dianut kaum Qadariah. Kedua, pandangan tentang keterpaksaan manusia dalam mengikuti apa yang sudah ditentukan sebelumnya oleh Allah. Paham ini meyakini bahwa manusia tidak punya pilihan menghindar dari Corona. Kalau Allah sudah menghendaki dan menentukan seseorang mati karena Corona, maka ia tidak dapat berelak dari ketentuan itu. Tegasnya ia mati karena Allah. Paham ketidakbebasan (fatalism atau predestination) ini dianut kaum Jabariah. Khutbah si khatib di atas, kemungkinan besar ia hanya memahami kematian dari sisi pandangan Jabariah.
Terkait hal tersebut, berkembang di grup-grup whatsapp postingan ceramah ustadz-ustadz yang menyinggung kenapa harus takut shalat berjama’ah, kenapa harus menutup masjid dan mushala? Sementara di pihak lain, ada juga ustadz yang menilai kelompok ustadz yang pertama di atas sebagai Neo-Jabariah (fatalisme baru). Disini ikhwal Corona yang tadinya hanya merupakan problem kesehatan menjadi problem teologi gegara para ustadz ini.
Menurut kelompok pertama, wabah Corona adalah ketetapan Allah yang sudah ditentukan atas manusia. Corona ini taqdir dan hanya Allah saja yang berkuasa menghentikannya. Satu-satunya cara menghadapi Corona adalah dengan berdoa, berdzikir, shalat berjama’ah di masjid agar Allah mengasihani kita dan mengusir wabah ini pergi jauh-jauh. Pandangan ini banyak dianut oleh kalangan muslim awam di Indonesia. Misalnya, pemerintah sudah membelakukan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tetapi masih banyak umat Islam melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Mereka yakin bahwa Allah akan melindungi mereka, karena doa-doa dan amalan-amalan yang mereka panjatkan. Hanya sebatas itu yang bisa mereka lakukan. Soal kematian Allah yang tentukan.
Pemahaman tentang kematian pun sangat tekstual sekali. Semua orang akan berpegang pada teks suci Qur’an tanpa harus repot memikirkan apa yang menyebabkan kematian. Bahwa setiap jiwa (yang hidup) pasti merasakan kematian (Qs. 3 : 185). Anda mau lari kemana? Kematian akan menjemputmu (Qs. 62 : 8), sekalipun kamu berada di dalam tembok yang kokoh (Qs. 4 : 78). Teks-teks ini dipahami secara mentah seolah-olah kematian tak terkait sama sekali dengan daya upaya manusia.
Saya ingin mengajak pembaca semua untuk memahami kematian sebagai sesuatu yang taken for granted, tetapi terkoneksi dengan perbuatan manusia. Misalnya seseorang sakit tetapi karena tidak diobati membuatnya mati. Atau seseorang yang meminum miras oplosan membuatnya mati. Akhir dari perbuatan manusia itulah ketentuan (qadha), bahwa jika ia minum miras oplosan dalam takaran tertentu bisa menyebabkan kematian. Ihwal kematiannya itulah yang disebut kepastian (qadar) atau taqdir(jelek) atasnya. Cuma, tatkala si A menanyakan pada si B, mengapa si C meninggal? Maka si B mengatakan, si C meninggal karena Allah (bukan karena sakit atau karena kecelakaan). Disini terjadi kerancuan bukan saja dari sisi komunikasi (struktur bahasa) melainkan dari sisi teologis.
Selanjutnya pemikiran ketiga yang dibawa oleh kaum Mu’tazilah tentang keunikan perbuatan Allah. Menurut mereka, semua perbuatan Allah adalah baik. Allah tidak berbuat jahat dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya. Jikalau Allah menurunkan hukuman, misalnya wabah Corona, hal itu semata-mata untuk kepentingan dan maslahat manusia. Jika bukan untuk kemaslahatan manusia, berarti Allah telah melalaikan salah satu kewajiban-Nya (yakni berbuat baik).
Terdapat pandangan paling ekstrim dari salah satu sekte Mu’tazilah ini adalah Allah tak kuasa (lâ yaqdir) berbuat buruk (dzhulm) karena perbuatan yang demikian hanya datang dari orang yang tidak sempurna, sementara Allah sendiri Maha Sempurna. Semua perbuatan Allah adalah baik, tetapi hal itu belum cukup mengekspresikan kemahabaikan Allah, sehingga kaum Mu’tazilah sekte ini berpandangan bahwa wajib bagi Allah untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik bagi manusia.
Jika mengikuti pandangan Mu’tazilah di atas, kita akan mengatakan Corona bukan dari Allah. Kalau Corona berasal dari Allah, maka itu demi kebaikan umat manusia. Secara relatif preposisi ini bisa diterima. Misalnya, dengan adanya Corona, manusia lebih berhati-hati, berbuat kebaikan dan banyak bertobat. Namun di sisi lain, mengharapkan Allah untuk menghilangkan Corona dari muka bumi merupakan tindakan yang sia-sia. Sebab dalam pandangan Mu’tazilah, Allah itu baik. Dia tak pernah berbuat jahat kepada manusia. Penyebaran virus Corona bukan perbuatan Allah melainkan perbuatan manusia. Manusia saja yang bisa menghilangkan Corona. Dari perspektif Mu’tazilah yang rada aneh ini pun, pernyataan si khatib, “mati karena Allah” tidak dapat diterima.
Tafsir Ayat
Pemahaman tiga aliran pemikiran di atas memperlihatkan cara pandang yang berpegang pada satu pijakan argumen. Pandangan pertama, manusia yang memiliki kebebasan dan kemampuan menentukan segalanya. Pandangan kedua, manusia hanya bisa pasrah menerima semua ketentuan dari Allah. Dan pandangan ketiga, Allah wajib membahagiakan manusia dan tidak pernah mencelakakan manusia. Dari ketiga pandangan itu, kita beralih pada pandang keempat.
Pandangan keempat berasal dari kaum Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang kemudian dianut umat Islam mayoritas di dunia termasuk di Indonesia. Aliran pemikiran ini awalnya disebut Asy’ariah karena pelopornya adalah Abu Hasan Ali bin Ismail Asy’ari (lahir di Basrah 873 M dan wafat di Bagdad 935 M). Menurut Al-Asy’ari, perbuatan manusia bukan dilahirkan oleh manusia sendiri tetapi diciptakan oleh Allah. Dalam konteks pandemi Corona, perbuatan sebagian kaum Muslim mendatangi masjid untuk shalat berjama’ah dipandangnya baik, namun mereka tidak punya kuasa untuk melarang virus memapar dirinya dan Allah membuatnya terpapar. Sebaliknya mereka yang mengikuti prosedur kesehatan, misalnya menunda shalat berjama’ah ke masjid dipandangnya baik, tetapi mereka tetap saja terpapar, maka itu pun di luar kekuasaan mereka. Karena Allah yang menghendakinya. “Apabila Kami menghendaki sesuatu, Kami hanya mengatakan kun-fayakun” (Qs. 14 : 40; 23 : 82), demikian dalil yang dipakai kamu Aswaja ini.
Cuma, Allah memberi manusia akal-pikiran. Dengan akal-pikiran itu, manusia membuat pilihan-pilihan atau yang kita sebut sebagai ikhtiar. Pandangan ini diwakili oleh Ibnu Taymiah (1263-1328). Menurutnya, seluruh perbuatan hamba diciptakan Allah, baik berupa amal shalih maupun amal buruk. Akan tetapi, seorang hamba tidaklah dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Bahkan dialah yang mengerjakan dan melakukannya atas dasar kesadaran dan kemampuan untuk memilih perbuatan yang mengantarkan mereka kepada kebaikan atau keburukan. Jika ikhtiar hamba baik, maka ketetapan ( taqdir) yang didapatnya baik. Sebaliknya kalau ikhtiarnya tidak baik, maka taqdir yang didapatkannya jelek. Jadi taqdir baik dan taqdir tidak baik tergantung perbuatan manusia. Konsep ini diadopsi dalam manajemen kebijakan publik, dimana hasil (output) ditentukan oleh masukan (input) dan cara penggodokan (process) dari suatu pengambilan keputusan.
Untuk menguatkan pandangan ini, saya ketengahkan kembali contoh penyeberang jalan. Seseorang yang menyeberang jalan raya dengan memperhatikan keadaan lalu lintas di kiri kanannya, dia akan selamat sampai ke seberang. Tapi seseorang yang menyeberang jalan tanpa menengok arah lalu-lintas di kiri-kanannya, ia tertabrak dan mati, maka kematiannya adalah akibat dari cara dia yang salah mengikuti ujian. Jadi, makna kalimat “liyabluwakum” (ujian untuk kalian), “ayyukum ahsanu ‘amalan” (siapa yang terbaik perbuatannya. (Qs. 67 : 2) merupakan pilihan-pilihan atau pertimbangan-pertinbangan tentang suatu perbuatan yang hendak kita lakukan. Tentu yang dibutuhkan diantara pilihan dan pertimbangan itu adalah mana yang berkategori ahsanu ‘amalan.
Kesimpulan
Problem teologis terkait qadha dan qadar ( taqdir) mesti dipahami dan diimani sebagai hukum sebab akibat. Seorang muslim harus percaya terhadap ketetapan ( taqdir) Allah ini, apakah taqdir baik atau taqdir buruk. Dengan demikian, fenomena kaya, miskin, cantik, jelek, sukses, gagal, sehat, sakit, semuanya terkoneksi dengan perbuatan manusia. Siapa yang tidak percaya dengan ini, kata Allah, “cari saja tuhan yang lain” (HQR. Thabrani). Jadi taqdir Allah tidak bersifat ujug-ujug tanpa sebab. Allah juga tidak membiarkan manusia berusaha sendiri tanpa perlengkapan. Maka ia melimpahkan qudrat (kekuatan) dan iradat (kehendak)-Nya pada manusia berupa akal pikiran dan hati. Al-Asy’ari menyebutnya al-kasb (daya dan upaya) yang membuat Allah ikut di dalam perbuatan manusia. Tanpa al-kasb, manusia tak mampu berbuat apa-apa. Dengan instrumen kekuatan dan kehendak itu, manusia dapat “menyiasati” taqdir Allah. Misalnya, Allah menetapkan seseorang wafat pada usia tertentu, tetapi karena ikhtiar yang dilakukannya berupa doa meminta umurnya ditambahkan atau bersedekah, akhirnya Allah menangguhkan kematiannya pada umur yang telah ditentukan.
Pandangan di atas dikuatkan dengan sebuah hadits Qudsi dari Abi Hurairah r.a, Nabi S.a.w bersabda, Allah berfirman : “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku !” Ingat, jangan segala sesuatu langsung diserahkan kepada Allah sebagaimana pandangan Jabariah. Saat ini banyak Neo-Jabariah (pasrahisme gaya baru) yang memandang pandemi ini bukan masalah kesehatan melainkan masalah teologi. Menggunakan masker, mengikuti prokes, membagikan resep ini dan resep itu, dipandang sebagai orang-orang yang imannya tipis, tidak percaya kepada kekuasaan Allah. Bagi mereka, doa dan amalan dzikir bisa menepis virus Corona, sehingga larangan shalat di masjid oleh pemerintah adalah kedzaliman kepada umat Islam. Namun di sisi lain, jangan pula takabur mengandalkan kemampuan manusia (medis) sebagaimana pandangan Qadariah. Atau jangan sampai beranggapan bahwa Allah tak mungkin menurunkan adzab pada manusia seperti pandangan Mu’tazilah.
Cara kita dalam beragama harus sesuai timbangan antara dogma dan rasionalitas. Kata Nabi S,a,w, meskipun disebut hadits lemah, “Agama (dogma) adalah rasional, tidak ada agama (dogma) yang tidak rasional” (al-dînu huwa al-‘aqlu lâ dîna liman lâ ‘aqlalahu). Hal itu dimaksudkan agar dogma dan akal digunakan secara bersama-sama. Tegasnya mengharapkan doa dan tidak percaya prokes atau percaya prokes dan mengabaikan doa, kedua-duanya salah. Harus menjalankan keduanya secara berimbang.
Beberapa kajian menunjukkan bahwa dunia Barat maju karena mengikuti metodologi ilmu dan filsafat Ibnu Rusyd. Sementara dunia Timur mandeg dan terbelakang karena didominasi oleh gerakan mistik dan faham keagamaan Al-Ghazali. Lebih parah lagi, makin kesini makin banyak waham, pseudo-agama. Saya tak memiliki kapasitas untuk menilai dua corak pemikiran itu, tetapi saran saya adalah mari kita beragama (Islam) tak boleh hanya berdasarkan dogma tapi harus ditopang dengan ilmu. Dengan ilmu, kita akan mengetahui bahwa kematian dan kehidupan adalah given milik Allah, tetapi tidak dapat kita katakan dengan kalimat langsung bahwa manusia mati karena Allah. Hal itu akan membuat umat Islam jumud dan fatalis. Menutup uraian ini, saya ingin menegaskan bahwa virus Corona adalah salah satu sebab yang mengakibatkan seseorang sampai pada taqdir Allah, kematian. Dengan demikian, mengatakan seseorang mati karena Corona bukan suatu kesyirikan.
Ciputat, 5 Juli 2021.