Masa Depan Rakyat Sumatera

oleh -40 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Inisiator Kongres Rakyat Sumatera

SwaraSenayan.com. William Marsden telah menulis sejarah Sumatera berdasarkan pengalaman langsung hidup di Bengkulu dan menjelajah berbagai daerah Sumatera sepanjang tinggal di sana 1771-1779, lalu Snouck Hurgronje menulis sejarah Aceh berdasarkan interaksinya dengan masyarakat Aceh pada 1891-1892, merupakan dua sosok penting untuk melihat kembali ke masa lalu bangsa Melayu dan bangsa lainnya yang mendiami pulau itu.

banner 336x280

Marsden bekerja untuk kepentingan Inggris yang menguasai pelabuhan Bengkulu sedangkan Snouck bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda meredam pembrontakan Aceh.

Menurut Marsden, ada 6 Bangsa yang mendiami pulau Sumatera ketika itu, yakni Melayu, Rejang, Batak, Aceh, Lampung dan Minangkabau. Tentu ada kelompok-kelompok bangsa kecil lainnya seperti Nias dan Mentawai. Atau sub bangsa dari 6 bangsa tadi. Namun, sebagai sebuah eksistensi dengan sebutan bangsa, maka keenam tadi menjadi bahasan Mersden secara utama, mungkin karena jumlah dan pengaruhnya dominan.

Dalam interaksi yang semakin intens di abad berikutnya, abad ke 19 dan setelahnya, bahasa dominan di Sumatera merupakan bahasa Melayu. Bangsa Rejang sendiri, yang menjadi referensi Marsden mengadopsi bahasa Melayu kemudian harinya.

Pada saat Marsden dan Snouck menuturkan pengamatannya tentang bangsa di tanah Sumatera ini, keperluan mereka adalah untuk mendeskripsikan makhkuk hidup dan segala isinya, agar mudah bagi bangsa Eropa menguasai pulau ini.

Keperluan bangsa Eropa saat itu adalah menguasai rempah-rempah, getah kayu, emas, dlsb. Pada tahun 1871, Inngris menyerahkan seluruh kekuasaannya di Sumatera kepada Belanda melalui tukar guling atas kekuasaan Belanda di Gold Coast, Afrika.

Marsden memperlihatkan variasi bangsa-bangsa yang mendiami Sumatera saat itu seperti berkulit agak putih di Lampung dan sedikit hitam atau cokelat Sawo Matang di daerah lainnya. Snouck sendiri mendeskripsikan orang-orang Aceh merupakan keturunan-keturunan Arab, Persia dan Turki. Namun, di luar perbedaan itu, di masa itu orang luar memikirkan bahwa orang-orang Melayu lah penghuni Sumatera. Jika dibicarakan saat ini, maka sesungguhnya mengatakan Melayu pada semua bangsa di Sumatera hampir dapat diterima. Mungkin sedikit membedakan dari sisi siapa yang lebih tua, sehingga di sebut Proto Melayu, versus yang lebih muda Melayu.

Melayu Sebuah Bangsa

Melayu, sebagai sebuah bangsa sudah eksis sebagai bangsa besar berabad-abad yang lalu. Bangsa Melayu, termasuk Aceh dan Minang, telah mendirikan Singapura, Malaka, Penang, dan berbagai wilayah lainnya di Asean. Hal itu tercermin dari keserupaan bahasa diantara mereka.

Sebagai bangsa, karakter manusia, sistem adat, hukum pemerintahan dlsb telah berlangsung berabad-abad lamanya. Dalam skala negara, di Pulau Sumatera pernah berjaya tiga kerajaan besar yakni Sriwijaya berpusat di Palembang/Jambi, Kerajaaan Melayu di Riau/Medan dan Kerajaan Aceh. Ketika Islam datang ke tanah Sumatera, terutama pada abad ke 13, agama ini telah menjadi ajaran arus utama, terutama sekali dalam melindungi diri dari masuknya penjajahan Eropa ke Sumatera.

Papua Merdeka dan Nasib Sumatera

Gerakan Papua Merdeka saat ini telah menjadi kenyataan yang sulit dilawan. Berbagai kelompok masyarakat Papua yang disiarkan atau diviralkan mendukung Indonesia, umumnya dari orang-orang Papua beragama Islam alias kelompok minoritas di Papua. Sebaiknya kelompok-kelompok non Muslim, telah berdemonstrasi secara terang-terangan di seluruh pelosok Papua dan bahkan di Jawa, untuk merdeka.

Pada saat bersamaan, misalnya, Gubernur Papua sudah membuat terang-terangan dikotomi Papua vs. NKRI dalam pernyataannya sebagai berikut: “Jika orang-orang Papua tidak diterima di NKRI, saya sudah juga menelepon Gubernur Papua Barat, untuk menarik pulang mereka ke Papua”. Pernyataan ini gampang ditelusuri beberapa hari lalu di bergbagai media. Sebelumnya juga Sekda Papua sudah menyatakan tanah Papua adalah tanah Israel. Israel disini diperkirakan sebagai sebuah negara, mengingat beberapa tahun lalu, bendera-bendera Israel berkibar secara terencana di Papua.

Selain itu, berbagai kelompok-kelompok strategies di dunia, seperti Gereja-gereja Amerika, Israel, Ketua Partai Buruh Inggris, Senator di Australia dan bahkan Komisi HAM PBB terlihat bersimpati pada gerakan Papua Merdeka. Hal ini sebelumnya juga sudah dilakukan negara-negara Pasifik, seperti Vanuatu, dll.

Tuduhan dari kelompok Papua Merdeka adalah kolonialisme Indonesia atas Papua. Menurut mereka, pembangunan infrastruktur yang agresif misalnya dilakukan Jokowi, bukan untuk kesejahteraan rakyat Papua. Melainkan untuk memberi kemudahan kapitalis besar menguasai tanah-tanah Papua.

Keinginan Papua merdeka tentu akan mendapat perlawanan dari Negara Indonesia. Namun, sebuah refleksi penting dilakukan apakah 50 tahun Papua bersama Indonesia secara dominan merugikan Papua dan bangsanya?

Jika persepsi itu diamini maka pertanyaan terhadap Sumatera dan rakyatnya perlu pula mulai diselidiki.

Sumatera di masa lalu di datangi bangsa Eropa untuk membeli rempah-rempah dan lainnya. Kemudian mereka membuka perkebunan. Kemudian menambang emas. Kemudian pula menghisap minyak, dlsb. Hampir semua kekayaan Sumatera dihisap kolonial. Dengan Indonesia merdeka, apakah rakyat Sumatera mendapatkan keuntungan yang berarti saat ini?

Pertanyaan ini perlu penyelidikan dalam. Namun, membayangkan kebaikan bagi rakyat dan bangsa Sumatera kelihatannya jauh dari harapan. Dari 3,5 juta Hektar perkebunan Sawit, misalnya, 3 juta Hektar dikuasai Konglomerat yang tidak ada kaitannya dengan “Bangsa Sumatera”, sedangkan negara, menguasai kurang dari 500.000 hektar. Belum lagi ladang ladang minyak, hutan, emas, dlsb.

Refleksi bangsa-bangsa Sumatera atau Rakyat Melayu untuk melihat perbandingan kejayaannya di masa lalu dan nasibnya saat ini, tentunya bukan untuk menyerupai bangsa Papua, yang ingin merdeka. Kenapa? Karena secara kesejarahan, Bangsa Melayu merupakan bagian dari pendiri Indonesia. Meskipun secara ras, bangsa Melayu, Jawa dan Papua mempunyai perbedaan yang historis.

Keadilan Sosial di Sumatera

Jika Papua mempunyai refleksi bahwa mereka dijajah Indonesia sehingga ingin merdeka, Melayu di Sumatera harus memikirkan keberadaannya sebagai penguasa wilayah itu secara nyata dalam bingkai Indonesia. Penguasaan itu dibuktikan dengan mengubah pola penguasaan lahan-lahan dan asset produktif. Seperti di Malaysia, tanah Melayu lainnya, penguasaan tanah dilakukan secara mayoritas oleh rakyatnya. Korporasi besar, baik swasta maupun negara, menguasai usaha, misalnya perkebunan, bersifat derevatif. BUMN Sawit Malaysia, Felda, bersama rakyat petani sama-sama memiliki saham perusahaan tersebut.

Penguasaan tanah Sumatera oleh orang-orang Melayu, termasuk didalamnya Aceh, Minang, dll, setelah 74 tahun merdeka dan bersama dalam Bendera Merah Putih, akan mempunyai benang sejarah pada keinginan Melayu untuk merdeka dalam NKRI. Hal itu juga buat Aceh akan menjadi contoh yang baik.

Jika tidak, maka hakekat kemerdekaan belum terjadi. Struktur kolonial masih berlanjut dan akan melemahkan semangat persatuan nasional.

Penutup

Masa depan rakyat Sumatera merupakan agenda besar sebagai refleksi bagi bangsa bangsa asal Sumatera. Refleksi ini mengingat adanya keinginan yang kuat dari bangsa Papua untuk merdeka dan kecenderungan Presiden Jokowi berkompromi dalam isu ini. Setidaknya statemen Jokowi beberapa waktu lalu yang menganggap keinginan merdeka ini sebagai masalah saling memaafkan saja.

Refleksi pertama adalah sejauh ini kita melihat bahwa arah pembangunan nasional selama ini, dari dulu, lebih berorientasi pada penguatan struktur penindasan korporasi besar konglomerat terhadap rakyat melalui penguasaan dan eksploitasi kekayaan nasional. Papua dan bangsa Papua menyatakan tidak merima keberlangsungan model ini.

Kedua, kemerdekaan kita yang sudah 74 tahun belum menunjukkan kemerdekaan yang sesungguhnya. Di mana rakyat semakin hari semakin terpinggirkan.

Ketiga, Sumatera sebagai basis masyarakat Melayu, harus melihat keinginan bangsa Papua untukĀ  merdeka sebagai cerminan melihat kapan bangsa Melayu menjadi bangsa besar. Mungkinkah sebuah universitas di Sumatera bisa menyaingi univeritas di Malaysia misalnya?

Dengan demikian, refleksi ini bisa berguna untuk memajukan Indonesia kedepan, dengan atau tanpa Papua (semoga tetap ada Papua). *SS

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.