Maraknya Buzzer Politik Karena Komunikasi Buruk

Ayo Berbagi!

SwaraSenayan.com. Menyikapi kehadiran buzzer politik di era sekarang ini tak bisa dipisahkan karena revolusi teknologi komunikasi. Teknologi informasi sebagai bagian penting dari gaya hidup manusia modern yang ditandai dengan tidak bisa terpisah dari smartphone dalam aktivitas kesehariannya.

“Semua orang bisa jadi wartawan, bisa melakukan share berita apapun melalui media sosial,” demikian dikatakan Prof. Dr. Henri Subiakto, SH., MA selaku Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI dalam Seminar Merajut Nusantara yang bertajuk “Menyikapi Kehadiran Buzzer Politik di Media Sosial,” di Ros-In Hotel Yogyakarta, Kamis (7/11/2019).

Program literasi digital yang difasilitasi oleh Badan Aksesibilitas Telekmunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo RI ini dalam rangka sosialisasi redesain USO untuk penggunaan internet sehat. Di tengah maraknya buzzer politik melalui media sosial, diperlukan pencerahan kepada masyarakat agar tidak terbelah dan menimbulkan gesekan sosial yang lebih parah.

Buzzer itu sebenarnya netral. Tapi ketika digunakan dalam politik cenderung digunakan untuk hal-hal negatif seperti untuk menjatuhkan lawan politik,” papar Staf Ahli Menteri Kominfo bidang Hukum.

Henri mengakui maraknya buzzer di media sosial akhir-akhir ini karena pola komunikasi pemerintah buruk. Sehingga masyarakat mendapat derasnya informasi dan opini yang diproduksi para buzzer. Henri mencontohkan saat terjadi kerusuhan sosial di Wamena Papua beberapa waktu lalu kenapa harus menutup akses internet, kebijakan ini menandakan pola komunikasi yang buruk.

“Padahal gak perlu menutup akses internet, itu karena pola komunikasi pemerintah buruk,” ujar Henri yang juga sebagai dosen ilmu komunikasi di Universitas Airlangga Surabaya.

Karena itu, Pemerintah harus mengambil peran sebaga buzzer untuk memberikan informasi publik yang baik dan berkualitas. “Kalau pola komunikasi baik, gak perlu memblokir medsos,” jelasnya.

Program BAKTI Kominfo RI yang terus aktif melakukan sosialisasi penggunaan internet sehat ini diyakini bisa mendorong masyarakat makin cerdas dan bijak dalam menggunakan media sosial. Meski diakui, program ini hanya dilakukann oleh Kominfo pusat saja, hanya dibawah Ditjen IKP.

Henri menegaskan sebagai masyarakat yang hidup di era digital ini, dihimbau untuk menguatkan literasi, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh opini atau hoax yang menyesatkan.  Bahwa robot dengan buzzer di medsos itu gak ada bedanya, karena buzzer hanya share sesuatu untuk mempengaruhi persepsi publik secara massif. Karena itu jangan percaya sumber berita yang tidak jelas kredibilitasnya.

“Jangan berspekulasi pada sesuatu yang belum jelas sumber berita yang diragukan kredibilitasnya. Media mainstream bisa dijadikan rujukan yang kredibel. Jangan buru-buru menyebar berita,” saran Henri.

Kenapa hoax disebar? Henri menjelaskan karena hoax dianggap mampu mempengaruhi pemikiran publik. Menurutnya, masyarakat yang sejak awal fanatik, akan lebih mudah terkena hoax. Hoax ketika bersanding dengan hate speech dan radikalisme menjadi ramuan ampuh proxy war yang menyebabkan pembelahan masyarakat, memunculkan kegaduhan, merusak demokrasi dan bisa membuat kecemasan.

Sementara, KRMT Roy Suryo Notodiprojo selaku anggota DPR RI Periode 2014-2019 menjelaskan bahwa masing-masing negara punya cara dan pendekatan terhadap buzzer politik tergantung sisi mana untuk menyuarakan bisa baik dan benar.

“Hadirnya Deni Siregar dan influencer lainnya di medsos itu sudah memiliki sikapnya masing-masing. Masyarakat harus bijak menyikapinya, termasuk dari influencer yang sering mengkritik pemerintah,” ujar Roy Suryo.

Karena itu, Roy Suryo menganggap buzzer itu bisa postif jika mem-buzzer­-kan kemajuan pemerintah melalui Seminar Merajut Nusantara oleh BAKTI Kominfo ini.

“Sesuatu yang baik bisa dbuzzerkan sehingga yang kita dengungkan di medsos dipenuhi progress-progres pembangunan,” kata Roy. *mtq

Ayo Berbagi!