Manuver Yudicial Review : Abai Etika Politik

oleh -386 Dilihat
oleh
Dr. TB. Massa Djafar (Ketua Program Doktoral Universitas Nasional Jakarta)
banner 468x60

Oleh : Dr. TB. Massa Djafar (Ketua Program Doktoral Universitas Nasional Jakarta)

SwaraSenayan.com – Berbagai peristiwa dan pengalaman politik di negeri ini, mestinya membuat elit kita semakin cerdas dan arif dalam mensikapi realitas politik yang berkembang.

banner 336x280

Langkah Yudicial Review terhadap masa jabatan wakil presiden, membuat kita terperangah. Dan membuat kita shock, karena dilakukan oleh seorang tokoh bernama Yusuf Kalla. Beliau, bukanlah politisi biasa. Kelas beliau sudah di level negarawan. Beliau juga seorang pengusaha papan atas. Ibarat kata, beliau sudah punya segalanya, track-record nya yang sangat baik.

Lalu apa kepentingannya? sehingga beliau mau mengambil langkah yudicial review, untuk meloloskan dirinya terpilihnya kembali sebagai capres atau cawapres? Bukankah beliau, berulang kali menyatakan, akan istirahat dalam kancah politik. Ingin menikmati hari tua bersama keluarga, anak cucu.

Kita tidak bisa membanyangkan, bagaimana seorang Yusuf Kalla mau mejilat ludahnya sendiri, mengingkari pernyataannya. Bahwa beliau tidak berminat lagi dipanggung politik.

Dari sisi lain, apa mamfaatnya yudicial review bagi pembangunan politik, khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik?

Jawaban sederhana, dan terbaca oleh publik, tidak lain sebuah langkah untuk tetap terus berkuasa. Dan yang sangat konyol, hanya untuk kepentingan tersebut, tidak lagi mempertimbangkan amanat dan spirit reformasi konstitusi. Bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya dua kali.

Belajar dari pengalaman bung Karno dan Suharto, untuk melanggengkan kekuasaannya telah mencedrai konstitusi. Meskipun hal tersebut bisa dianggap “benar” dan bisa dicari justifikasi hukum dan politik. Celah hukum pada intepretasi dan justifikasi politik bisa saja dicari cari guna membangun legitimasi. Karena alasan itu, akhirnya presiden Sukarno dan Suharto bisa melanggengkan kekuasaan dan jabatannya.

Namun para politisi kerap lupa, sandaran politik selalin aturan main, konstitusi atau peraturan dibawahnya, sehebat apapun aturan main itu, tetap saja mempunya celah atau kelemahannya.

Karenanya, dalam praktek politik aspek terpenting selain hukum adalah etika politik. Kelemahan dalam sebuah sistem politik tak terhindarkan. Apalagi, bagi sebuah negara yang sedang menanta kembali, mereformasi tatanan politiknya. Maka, etika politik menjadi sangat penting, sebagai pengimbang keterbasan pelembagaan, prosedur politik yang ada.

Penyalaah gunaan kekuasaan dan jabatan, tidak selalu berarti sebuah aturan hukum lemah.  Jika etika hukum atau etika politik menjadi sandaran pada setiap pribadi, maka kelemahan hukum dapat diminimalisasi. Bukan sebaliknya justru ditunggangi. Hanya untuk meraihkan kepentingan, yang jelas jelas merugikan kehidupan masyarakat bangsa dan negara.

Etika politik, adalah suara hati, moral politik insaniah, yang memandu prilaku manusia mana yang patut dilakukan, mana yang tidak. Jika etika politik, etika pemerintahan, etika hukum bersemai dalam dada para politisi, aparat penegak hukum, pengusaha, pastilah statistik korupsi di negeri ini turun secara signifikan.

Yudisial review soal pembatasan masa jabatan punya banyak argumentasi, bisa menghalalkan bisa juga mengharamkan. Jika elit politik penyelenggara negara masih berpegang pada etika politik, pasti menolak pencabutan pembatasan masa jabatan wakil presiden. Secara logika sederhana, langkah pencabutan masa jabatan wapres, baik langsung atau tidak, hanya memperkuat dan membenarkan sebuah adagium Lord Acton “power tends to corrupt” kekuasaan cenderung korup.

Bukankah kita sudah berpengalaman dalam praktek konstitusi dan politik pemerintahan. Masa jabatan yang tidak dibatasi, telah membawa petaka bagi negara ini.

Karena itu, meskipun kita tetap optimis kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga gawang praktek konstitusi kita. Namun tidak sertamerta pula hasilnya akan sesuai dengan harapan publik. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi.

Proposi tersebut sangat lumrah. Mengingat trust politik (politcal trust) di negeri ini sedang berada pada titik nadir. Sangat memprihatinkan, apalagi dinamika politik jelang Pilpres dan Pileg 2019, berbagai fenomena yang tampak memberi isyarat, perpolitikan di bumi pertiwi ini semakin jauh dari etika politik. Para aktor politik bisa menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kukuasaaan. Yaitu dengan jalan memanipulasi aturan main dan pembohongan publik. *SS

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.