Oleh : Bambang Wiwoho
Falsafah Huruf Jawa: ho-no-co-ro-ko.
SwaraSENAYAN.com. Siapa pun pasti tidak suka dengan orang yang mencla-mencle, yang ucapannya mudah berubah, tidak bisa dijadikan pegangan dan tidak bisa dipercaya. Apalagi jika dia seorang pemimpin. Sebab bila demikian halnya maka anak buah dan rakyatnya pasti bingung terombang-ambing. Oleh karena itu baik ajaran kepemimpinan Jawa mapun Islam melarang seseorang, lebih-lebih seorang pemimpin bersikap seperti itu. Bahkan guru besar “Tujuan Menghalalkan Cara” Niccolo Machiavelli juga tidak suka.
Dalam Bab 18 dari bukunya “ll Principe atau Sang Penguasa”, Niccolo Machiavelli mengajarkan seorang penguasa harus penuh perhitungan dan memegang teguh apa yang telah diputuskan. Baginya, seorang raja harus garang sekaligus licik dan penuh tipu daya seperti binatang. Untuk itu raja tidak harus setia memegang janji khususnya perjanjian internasional.
Namun demikian dalam Bab 23 tentang cara menghadapi penjilat, ia mengajarkan bahwa mengenai apa-apa yang telah diputuskan, raja sama sekali jangan banyak omong lagi. Ia juga tidak boleh mengubah keputusannya, apabila keputusan itu diambil setelah dipertimbangkan dengan sematang-matangnya. Barangsiapa berbuat selain itu, maka ia akan menjadi mangsa para penjilat, atau setiap saat ia mengubah keputusannya disebabkan perasaan yang berubah-ubah. Sikap dan perbuatannya yang mudah berubah itu akan menyebabkan ia dipandang rendah.
Perihal kecermatan, ketelitian, keteguhan hati dan konsistensi seorang pemimpin, kearifan Jawa mengajarkan melalui legenda terjadinya huruf Jawa sebagai berikut: “Ho no co ro ko, do to sa wo lo, po dho jo yo nyo, mo go bo tho ngo”. Makna susunan huruf itu mengisahkan tentang leluhur orang Jawa yaitu seorang pemuda bernama Aji Saka beserta dua orang pengawalnya, tiba di pulau Jawa yang pada dahulu kala dihuni oleh para raksasa pemakan manusia yang liar tidak beradab, yang dipimpin oleh Raja Dewata Cengkar.
Begitu mendarat, Aji Saka meminta seorang pengawalnya tinggal dan menunggu di satu tempat sambil menjaga sebuah pusaka dan perbekalannya, dengan pesan agar si pengawal, sebut saja Si A, menjaga dengan sepenuh jiwa raganya, serta tidak menyerahkan kepada siapa pun kecuali kepada Aji Saka sendiri. Disertai pengawal yang satunya lagi, sebut Si B, Aji Saka mendatangi Dewata Cengkar untuk mengadu kesaktian, yang dimenangkan Aji Saka.
Setelah menguasai kerajaan para raksasa, Aji Saka memerlukan pusaka dan perbekalan yang ditinggalkan di tempat pendaratannya, guna menata dan membangunan masyarakat baru yang beradab. Untuk itu ia mengutus Si B mengambil pusaka dan perbekalan tadi dengan pesan jangan kembali menemuinya jika tidak berhasil. Syahdan setelah Si B bertemu Si A, masing-masing mengemukakan pesan Sang Pemimpin, yaitu Aji Saka. Si B menyampaikan ia diperintahkan untuk mengambil pusaka dan perbekalan, dan jangan kembali apabila tidak berhasil. Sementara Si A juga memegang teguh pesan Aji Saka agar tidak menyerahkan kepada siapa pun kecuali Aji Saka sendiri. Karena saling bersikukuh memegang teguh amanah, akibatnya mereka berdua berkelahi, sampai akhirnya sama-sama tewas.
Kabar tewasnya kedua pengikut setianya itu akhirnya diketahui oleh Aji Saka, yang kemudian sangat menyesali kecerobohannya. Guna mengenang penyesalannya dan demi menjadikannya pelajaran bagi generasi yang akan datang, maka Aji Saka menciptakan huruf Jawa, yang di susun dalam urutan ho no co ro ko dan seterusnya tersebut. Dengan makna legenda yang tersirat dalam penciptaan huruf Jawa, Aji Saka ingin mengajarkan filosofi kepemimpinan dan pengabdian sekaligus kepada generasi masa depan.
Seorang pemimpin harus harus hati-hati dalam bertutur kata, bersikap, berperilaku dan dalam mengambil setiap kebijakan. Semuanya harus teliti, cermat, penuh perhitungan, selalu konsisten, taat azas dan tidak pernah meralat. Perkataan dan tindakan pemimpin harus satu dan sama, tidak boleh berbeda. Untuk jangan sampai meralat, maka sebelum mengambil keputusan harus penuh perhitungan dan kajian yang mendalam lagi menyeluruh. Seorang pemimpin juga harus bisa menggariskan kebijakan yang jelas yang bisa dipahami oleh semua staf dan punggawa Pemerintahannya, agar para staf dan aparat birokrasinya tidak membuat penafsiran sendiri-sendiri yang bisa berbeda satu sama lain. Apalagi sengaja mengadu domba anak buah.
Sebaliknya para anak buah pun harus setia kepada pimpinan, dan jangan segan-segan mengingatkan jika pemimpin lupa atau bersalah, karena betapa pun seorang pemimpin juga manusia yang tidak luput dari kesalahan. Namun demikian, dalam mengingatkan pimpinan, anak buah harus pandai menjaga kewibawaan sang pemimpin, dan jangan mempermalukan di depan umum.
Begitulah, meski berbeda dalam tata nilai, etika dan moralitas, namun ada satu persamaan antara seni kepemimpinan Jawa, Islami maupun ajaran Machiavelli yang penuh tipu muslihat, yakni keteguhan sikap dan konsistensi seorang pemimpin. ■