SwaraSenayan.com. Saat ini ketersediaan sumber energi listrik tidak mampu memenuhi peningkatan kebutuhan listrik di Indonesia. Terjadinya pemutusan sementara dan pembagian energi listrik secara bergilir merupakan dampak dari terbatasnya energi listrik yang dapat disuplai oleh PLN. Hal ini terjadi karena laju pertambahan sumber energi baru dan pengadaan pembangkit tenaga listrik tidak sebanding dengan peningkatan konsumsi listrik.
Upaya menambah pembangkit sebenarnya telah dilakukan pemerintah. Namun membutuhkan proses yang lama dan anggaran yang besar. Apalagi saat ini PLN sedang mengalami kerugian dan menanggung utang yang cukup besar. Hal ini tak lepas dari akibat praktek KKN yang masih melekat pada birokrasi dan kepengurusan PLN. Oleh karena itu, kerja sama dan partisipasi berbagai pihak sangat diperlukan untuk mengatasi krisis energi listrik ini.
“Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan penduduk 250 juta ini hanya punya total pembangkit listrik 65.000 MW. Sementara China dengan jumlah penduk 5 kali jumlah penduduk Indonesia, punya pembangkit listrik 1.600.000 MW atau sekitar 28 kali total pembangkit di Indonesia,” demikian ditegaskan Dr Kurtubi, Anggota DPR RI Komisi VII kepada SWARA SENAYAN (29/9/2017).
“Sekitar 15% penduduk negeri ini belum tersambung listrik. Kemampuan suplai listrik kita rendah, konsumsi listrik perkapita rendah hanya 1/5 nya Malaysia dan hanya 1/2 nya Vietnam,” tuturnya.
Lanjut Kurtubi, investasi rendah karena listrik kurang, akibatnya banyak pemuda pemudi kita terpaksa cari nafkah ke Malaysia dan manca negara lainnya. Pertumbuhan ekonomi sejak kemerdekaan tidak pernah tumbuh tinggi, hanya sekitar 5%.
“Untuk mengejar ketertinggalan kita dan agar bisa menjadi negara maju ekonomi harus tumbuh tinggi diatas 8%,” ujar Kurtubi yang merupakan politisi Partai Nasdem.
Untuk menaikkan pertumbuhan diatas 8%, maka suplai ketersediaan listrik harus melimpah. Dari ketersediaan listrik maka akan menggerakkan industri yang menjadi multiflier effect bagi kegiatan perekonomian bangsa. Sebagai solusi untuk suplai energi, maka pembangunan pembangkit listrik yang mengurangi ketergantungan kepada BBM sebagai bahan bakarnya.
Karena itu, Kurtubi juga mengutip tekad Bung Karno yang sejak tahun 1950-an sudah mencita-citakan Indonesia punya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Namun hingga hari ini belum terwujud antara lain karena penolakan sebagian orang dan LSM yang menakut-nakuti, seolah-olah kalau kita bangun PLTN pasti akan meledak seperti PLTN Chernobyl di Ukraina di tahun 1980-an atau akan bocor seperti PLTN Fukushima di Jepang beberap tahun yang lalu.
Wacana pembangunan PLTN di Indonesia masih menjadi polemik antara bahaya dan manfaat sumber energi alternatif ini. Pemerintah kini masih sibuk mengembangkan Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN), bukan dengan tujuan komersial.
“Padahal teknologi dan pengamanan PLTN terus berkembang. Listrik dari PLTN itu bersih tidak menghasilkan debu, CO2, NOx dan merkuri. Karena itu kita tidak boleh terus-terusan takut dengan teknologi,” terangnya.
Kurtubi juga menjelaskan bahwa saat ini negara penghasil migas seperti UAE misalnya sudah punya 1 unit PLTN dan sedang dibangun 2 unit lagi menyusul Saudi Arabia, Bangladesh dan lain lain. Di seluruh dunia saat ini sekitar 60 PLTN sedang dibangun.
“Kita mestinya bisa memanfaatkan karunia Tuhan yang memberikan kecerdasan otak manusia yang terus menerus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi PLTN. Insya Allah manfaat PLTN jauh lebih besar daripada mudharatnya dalam mempercepat kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. *mtq