Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR)
SwaraSenayan.com. Mulai brebet. Sejak kapan Bareskrim menggunakan dalil Lex Specialis seperti dikemukakan Mantan Wakil Ketua KPK Pandu Pradja. Kalau menggunakan dalil itu, pimpinan KPK dulu tak bisa disel oleh Jenderal Buwas.
Tabrak saja Pak Tito, sebab next menyusul korps kepolisian. Bahaya itu. Saya baca surat Anas Urbaningrum, juga menolak anggapan BAP KPK bahwa ia menerima duit korupsi e-KTP itu.
Teguh Juarno juga. Setnov malah duluan menolak. Ahok menolak. Seharusnya semua Anggota Komisi II melapor ke Bareskrim, Komnas HAM, Ombudsman, dan PMH (onrechtmatige daad). Seperti kata Pandu, Marzuki Alie menerima duit yang dituduhkan BAP. Tapi berani tidak, Pandu jadi saksi dan menyodorkan bukti, bukan narasi?
Bukti itu yang tak ada kini. Karena tak punya bukti, KPK menempuh kiat memperbanyak saksi, untuk kemudian mengubah kesaksian menjadi bukti materil. Kiat standar. Akibatnya, jumlah BAP mencapai 24.000 halaman, 280 saksi. Kalau punya bukti untuk apa saksi sebanyak itu, padahal sidang tak boleh lebih enam bulan.
Konstruksinya Rekening Gendut
Sama kasusnya dengan rekening gendutnya Jenderal Budi Gunawan yang ditangani KPK. Cuma narasi, tak ada materilnya. Materilnya tahun 2004, saya masih di Komisi III DPR dan membahas kasus ini dengan PPATK. Akun dan duitnya sudah tak ada ketika terbit sprindiknya Abraham Samad.
Plus dokumen kadaluarsa terhadap bukti. Berdalil bisa, tapi bukti tak ada. Melawan Budi Gunawan dan keperkasaan Pasal 170 KUHAP diterabas oleh Hakim Sarpin. Pasal itu kini tak bisa lagi menjadi tempat sembunyi Penyidik dan JPU. Tak punya bukti kuat, kalah di Praperadilan. Makanya dapat dipastikan KPK takkan berani menaikkan status saksi menjadi tersangka.
Satu hal yang terlupakan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan tanpa korban, sama seperti narkoba, pelaku saling kenal dan sepakat melakukan kejahatan. Karenanya kalau cuma narasi, sulit dibuktikan.
Sebentar lagi pasti ada narasi Presiden SBY menerima aliran dana, tapi cuma narasi seperti berita sosmed yang covernya dilay-out BAP. Itulah bahaya yuridis ketika penegak hukum menjadi alat kekuasaan atau alat nonjustice, menjadi extra judicial.
Saya baca di BAP penerima duit, saksi-saksi utama tak di BAP sebagai terdakwa karena KPK tak punya bukti. Hanya dua terdakwa yang berkisah seperti novel fiksi. Yaitu, KPK tak punya bukti, cuma narasi.
BAP Dramaturgi
Saya berkesimpulan BAP itu dramaturgi. Ujung-ujungnya cuma dua terdakwa dari Dukcapil itu yang masuk. Tapi KPK beroleh credit point memperbaiki wibawanya yang digerus Ahok tanpa menanggung resiko dikerjai kekuasaan karena kasus itu legacy rezim Abraham Samad.
Kalau narasi yang mau digunakan, Ketua KPK Agus Rahardjo dituduh Gamawan Fauzi terlibat karena ia yang pimpin lelangnya. Sementara hak paten dari perusahaan Perancis itu sudah diakuisisi oleh perusahaan milik Setnov.
EKTP bukan baru. Tahun 2000, sudah saya bahas dengan Noorca Massardi yang waktu itu Redpel Majalah Forum. Puluhan ribu orang mendemo Presiden Perancis Franqois Mitterand meminta proyek e-KTP dibatalkan. Dan Mitterand membatalkannya.
Alasan para demonstran, pertama content e-KTP adalah data pribadi yang lalu dibaca oleh satelit dan dipublikasikan. Kedua, data EKTP berada di wilayah hukum privat, tak boleh masuk ke wilayah hukum publik. Ketiga, data privat itu tak jelas siapa yang menguasai. Keempat, melanggar HAM.
Belakangan prototipe ini dibeli Setnov dan terbit di Indonesia. Untuk tiap penerbitan kartu itu, Setnov akan kebagian Rp 2.000 dari Rp 5.000 harga jualnya, sedang dari proyek itu akan menerima 11%. Setnov tak menerima cashnya, tapi kata BAP ada Rp 500 miliar yang mengalir ke DPP Golkar.
Itu yang dimaksud Yusril Ihza Mahendra pemerintah hendaknya mengajukan pembubaran Golkar ke MK. Yaitu, penerimanya adalah lembaga orpol. Bisa itu. Tapi Presiden Jokowi bisa jadi nomaden karena PDIP juga akan ikut bubar. Jadi gelandangan deh.
Sementara itu, kualitas kartu e-KTP yang telah terbit KW3 (kualitas tiga) dibanding kartu ATM. Begitu pula chips di dalamnya. Tapi sudah dibantah oleh Setnov di TV News. Duit yang banyak sekali itu dan terus mengalir hingga akhir zaman sepanjang Indonesia memakai EKTP. Canggih Setnov. *SS