Kontroversi Demokrasi di Negeri Pancasila

Ayo Berbagi!

Oleh: Insanial Burhamzah

Tulisan ini terinspirasi dari presentasi Prof. DR. Abdul Basith, tentang “Pancasila Sebagai Etika Bangsa”

SwaraSenayan.com. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir dan terbentuk dari beragam budaya suku-bangsa dibawah kerajaan / kesultanan yang eksis sejak ribuan tahun silam di nusantara ini. Dan berdedikasi pada sebuah konsep sederhana: Bhineka Tunggal Ika: “Dari banyak menjadi satu”. Berdasarkan sebuah ide bahwa semua orang diciptakan sama, yang di wariskan oleh para pendahulu kita yang telah menumpahkan darah dan berjuang selama berabad-abad untuk memberikan arti kepada kata-kata tersebut – di dalam wilayah teritorial NKRI, sehingga NKRI berdiri tegak sebagai bangsa dan negara yang berdaulat ditengah negara-negara lainnya.

Keberuntungan bangsa ini adalah karena ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menempati belahan bumi yang dianugerahi sumberdaya alam yang subur dan sangat kaya, dibanding negara-negara lainnya. Namun, anugerah itu sekaligus menjadi “ancaman”, ditengah perseteruan GeoPolitik global sejak abad 16 lalu. Sehingga, Negara ini sering menjadi target eksploitasi bangsa dan negara lain. Meskipun kita sudah mendeklarasikan kemerdekaan kita sebagai bangsa dan negara sejak tahun 1945 lalu.

Namun, pada abad 21 ini, kita justru sedang mengalami ancaman perpecahan yang serius ditengah perseteruan antara Amerika Serikat dan China pada GeoPolitik Global. Mereka menancapkan kuku  imperialismenya melalui metode Asymetrc War, yakni perang tanpa menggunakan militer, namun mereka melakukan pelemahan ekonomi, politik dan ideology melalui adu-domba/devide et impera sebagaimana yang kita alami saat ini.

Dan bukan tidak mungkin salah satu bentuk asymmetric war adalah mengaburkan esensi makna Pancasila sebagai azas NKRI. Sehingga, kita lebih bangga menggunakan azas yang ber-nomenklatur Demokrasi. Padahal hubungan antara Demokrasi dan Pancasila sejak orde lama sampai pasca reformasi mencakup inkosistensi yang seakan serupa, tapi nyatanya tak sama. Sehingga setiap periode pemerintahan  memaknai sesuai kepentingan rezim pemerintahan masing-masing.

Pasca reformasi ada upaya peng-kultusan esensi makna Demokrasi secara berlebihan, sehingga UUD 45 di amandemen demi memberi ruang pada Demokrasi yang bernuansa liberal itu, untuk  menjadikannya sebagai azas pada kehidupan berbangsa di NKRI. Namun, paradoksnya mereka sekaligus mengklaim sebagai kelompok yang paling Pancasila. Sementara Demokrasi dan Pancasila adalah dua azas yang bagaikan kutub berseberangan.

Akibatnya, mereka mendiskreditkan dan menuduh Ulama dan ummat Islam yang sesungguhnya memiliki komitmen pada Pancasila itu, sebagai kalangan radikal. Mereka mengeksploitasi ketegangan-ketegangan yang ada dalam segmen kecil meskipun mereka (Komunis, Liberal, Sekuler) hanya minoritas tapi seakan kuat dalam kehidupan berbangsa dan menyatakan #Aku Pancasila dan #NKRIhargaMati. Namun kenyataannya mereka melakukan penghadangan dengan menggunakan senjata tajam para ulama di airport Kalimantan, penghadangan dengan ancaman senjata pada wakil ketua MPR di Sulawesi Utara. Itulah jika Demokrasi diperlakukan sebagai bagian dari Pancasila dan sebaliknya Pancasila dianggap sebagai bagian dari Demokrasi. Kesalahpahaman itu terus berkembang dan muncul sebagai ideologi abu-abu yang mengadopsi demokrasi dan Pancasila sebagai azas dalam peleyelenggaraan negara.

Demokrasi

Sistem demokrasi mulai diterapkan sejak zaman Yunani kuno. Dengan sistem ini, maka rakyat bisa terlibat langsung dalam pengambilan keputusan, menyangkut keberlangsungan sebuah negara. Jadi, seluruh perkara kenegaraan harus dibicarakan langsung dengan para rakyatnya.

Demokrasi murni atau demokrasi langsung adalah sistem yang diusung di zaman tersebut. Dan saat ini Demokrasi menjadi symbol kedaulatan rakyat yang mencerminkan keinginan rakyatnya, dan negara yang tidak menerapkan demokrasi alan dianggap melanggar HAM. Amerika Serikat menjadi pelopor penganut azas demokrasi didunia.

Namun faktanya, ada yang memperjuangkan demokrasi hanya pada saat mereka tidak berkuasa; setelah berkuasa, mereka secara keji memberangus hak-hak orang lain.

Makanya Amerika sendiri tidak berpretensi tahu apa yang terbaik untuk semua orang, sebagaimana juga demokrasi tidak berpretensi bisa menentukan hasil dari sebuah pemilihan damai yang bebas dari tokoh yang Korup dan otoriter.

Di manapun kekuasaan itu berada, pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat merupakan standar tunggal untuk semua pihak yang memegang kekuasaan. Demokrasi dan Pancasila keduanya diharuskan mempertahankan kekuasaan lewat consensus dan mufakat, bukan pemaksaan; harus menghormati hak-hak minoritas, dan berpartisipasi dalam semangat toleransi dan kompromi dan harus mendahulukan kepentingan rakyatnya dan usaha sah dari proses politik di atas kepentingan partai. Tanpa ramuan ini pemilihan saja tidak akan menciptakan goals demokrasi yang murni.

Pancasila Sebagai Etika Bangsa

Pancasila  adalah  ETIKA Para RAJA & SULTAN Nusantara, dalam menjalankan pemerintahannya

Sila 1 – “Ketuhanan Yang Maha Esa”, representasi dari Etika para Agamawan,

Sila 2 – “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, representasi dari para Etika para Ilmuwan

Sila 3 – “ Persatuan Indonesia”, representasi dari Etika  para ketua suku, golongan dan tokoh masyarakat dan TNI  sebagai Pemersatu Bangsa

Sila 4 – “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, representasi dari  Etika  Musyawarah/ Mufakat (seharusnya mencakup representasi dari para Sultan/Raja Nusantara dan TNI, Tokoh Golongan/Agama/Nasionalis) bukan para oportunis yang menggadaikan bangsa ini pada asing.

Sila 5-  “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”, representasi dari Etika Berbuat Adil oleh para Penyelenggara Negara dan Profesional.

Pancasila bukan lahir dari tradisi demokrasi Yunani. Namun, Pancasila digali dari kultur yang berkembang ditegah tradisi suku bangsa-bangsa di nusantara. Sehingga kelima sila yang terkandung dalam Pancasila sudah merepresentasikan nilai-nilai bangsa ini guna negara ini dikelola melalui “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Ancaman terhadap keberadaan Pancasila adalah :

  • Liberalisme yang melahirkan  Kapitalis
  • Pragmatisme yanbg melahirkan Demokratis
  • Komunisme – Sosialis – Atheis

Dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat, yang dianggap sebagai perpanjangan tangan dari aspirasi rakyat. Hal itu menghilangkan esensi makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber-Ketuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi terpimpin di era pemerintahan Soekarno. Sedangkan demokrasi pancasila diusung pada masa pemerintahan Soeharto. Hingga era reformasi, negara kita masih menganut sistem demokrasi pancasila. Sejarah singkat demokrasi ini harus dipahami setiap warga negara.

Namun pada masa reformasi ini lebih parah lagi, Indonesia mulai mengimplementasikan demokrasi ala Yunani bukan Pancasila. Karena sudah bisa melangsungkan pemilihan presiden, anggota legeslatif, dan kepala daerah secara langsung. Perubahan status wilayah dan pemekaran daerah juga diberikan pemerintah pusat. Demi menjawab seluruh keinginan dan aspirasi rakyat.

Sistem pemerintahan bukan semakin adil, bisa dirasakan, setelah penerapan demokrasi sekarang ini. 90% Bupati jadi tahanan KPK, wakil rakyat hanya dari kalangan yang dapat “membayar” pihak terkait tanpa lagi dapat menelusuri bebet bobot dan asal usul dan rekam jejaknya. Bahkan, dengan semakin terbukanya negeri ini, bukan tidak mungkin orang asingpun dapat menjadi pemimpin dadakan di negeri ini.  Harapannya keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa ini akan tersandera oleh kepentingan pemodal besar.

Seperti halnya goals dari Demokrasi,  kita sepakat dan tidak bisa disangkal bahwa semua orang merindukan hal-hal tertentu: Kemampuan untuk mengungkapkan pendapat dan ikut menentukan bagaimana bentuk pemerintahan; mempercayai penegakan hukum dan penyelenggaraan keadilan yang sama untuk setiap orang; pemerintahan yang transparan dan tidak mencuri dari rakyatnya; kebebasan untuk hidup sesuai pilihan masing-masing. Itu bukan sekedar ide-ide negara demokrasi tetapi hal itu telah tersirat di dalam Pancasila, yang mencakup hak asasi manusia dan oleh karena itu, goals nya sama tetapi cara yang berbeda. Sebab, setiap negara menghidupkan prinsip-prinsipnya dengan caranya sendiri, yang berasal dari tradisi rakyatnya.

Tetapi tidak  ada garis lurus untuk menciptakan janji itu. Yang jelas adalah: pemerintahan-pemerintahan yang melindungi hak-hak rakyatnya pada akhirnya akan lebih stabil, sukses dan aman.Tak ada garis lurus untuk menciptakan janji itu.Tetapi yang jelas adalah: Memberangus ide-ide tidak pernah berhasil melenyapkannya. Pancasila menghormati hak-hak dari semua suara damai dan patuh hukum agar didengar di seluruh dunia, meskipun kita tidak sepakat dengan mereka yang mempromosikan liberalisme, sekularisme apalagi komunisme. Dan kami menyambut gembira semua pemerintahan terpilih dan damai – asalkan mereka memerintah dengan menghormati rakyatnya.

Saya tahu ada banyak  kalangan yang mempertanyakan apakah kita bisa merepresentasikan keinginan Rakyat pada NKRI yang ber azaskan Pancasila tanpa ada kata demokrasi. Beberapa pihak ingin menghasut api perpecahan, dan menghalangi kemajuan. Beberapa mengatakan hal ini tidak mungkin – bahwa Pancasila harus ikut arus demokrasi yang menggelinding hampir disemua negara di dunia. Dan diperkirakan akan berseteru dengan  berbagai peradaban. Banyak lagi yang sekedar skeptis dan ketidak percayaan. Tetapi kalau kita memilih untuk terperangkap dalam scenario global, maka kita tidak pernah akan melangkah maju. Dan saya secara khusus ingin mengatakan kepada generasi muda bangsa ini, mari kita menata kembali identitas asli bangsa kita, guna kita memberi bukti pada dunia bahwa Pancasila dapat menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara yang beradab dan berkeadilan bagi rakyat dan bangsanya serta kedamaian dunia.

Penutup

Saya tahu sudah banyak penjelasan esensi makna Pancasila, tetapi tidak ada satu penjelasan yang mampu menghapus kontroversi Demokrasi di negeri ber azaskan Pancasila ini, yang terpupuk selama bertahun-tahun, dan saya harap tulisan ini mampu membuka mata dan hati kita guna kita dapat menjawab semua pertanyaan rumit yang membawa kita ke titik ini. Tapi saya percaya bahwa supaya kita bisa melangkah maju, kita harus secara terbuka mengatakan kepada satu sama lain hal-hal yang ada dalam hati kita, dan yang seringkali hanya diungkapkan di belakang pintu tertutup. Harus ada upaya yang terus menerus dilakukan untuk mendengarkan satu sama lain; untuk belajar dari satu sama lain; untuk saling menghormati, dan untuk mencari persamaan. Sebagaimana kitab suci Al Qur’an mengatakan, “Ingatlah kepada Allah dan bicaralah selalu tentang kebenaran.” Ini yang saya akan coba lakukan hari ini – untuk berbicara tentang kebenaran Pancasila dan bukan Demokrasi yang nuansa liberal itu, sebaik kemampuan saya,  dan dengan keyakinan bahwa kepentingan yang sama-sama kita miliki sebagai umat bangsa jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang memisahkan kita.

Kita semua menghuni dunia ini untuk waktu yang singkat. Pertanyaannya adalah apakah kita melewatkan waktu itu terpusat pada hal hal yang memecah belah kita, atau apakah kita mendedikasikan diri pada usaha – usaha berkesinambungan – untuk mencapai kesamaan, memusatkan perhatian pada masa depan bagi anak-anak kita dan menghargai harga diri semua insan manusia.

Lebih mudah memulai perang ketimbang menghentikannya. Lebih mudah menuduh pihak lain ketimbang melakukan introspeksi diri; untuk melihat apa yang berbeda pada diri seseorang ketimbang menemukan kesamaan kita. Tetapi ada pula sebuah aturan yang merupakan inti setiap agama – bahwa kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka. Kebenaran ini berlaku lintas negara dan lintas rakyat – sebuah keyakinan yang tidak baru, yang tidak hitam atau putih atau coklat; bukan kebenaran Kristen, atau Muslim atau Yahudi. Ini merupakan keyakinan yang berdetak dalam dari buaian keberadaban, dan masih tetap berdetak dalam jantung miliaran manusia. Ini merupakan rasa percaya pada orang lain, dan hal itulah yang membawa saya menulis ini.

Tentu saja, mengenali persamaan nilai kemanusiaan kita hanyalah awal dari tugas kita. Namun, kata-kata saja tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyat kita. Kebutuhan-kebutuhan itu baru terpenuhi jika kita bertindak berani #2019GantiPresiden; Dan kita harus bertindak dengan pemahaman bahwa tantangan-tantangan yang kita hadapi adalah tantangan bersama, dan kegagalan kita mengatasinya akan merugikan kita semua. *SS

Ayo Berbagi!