SwaraSenayan.com. Harus diakui fakta sejarah bahwa pihak yang sangat menentukan dibalik kejatuhan Presiden Soeharto dan Orde Baru 1998 adalah sebuah konspirasi ekonomi global, atau yang sering kita sebut NEKOLIM (Neo Kolonialisme, Liberalisme dan Imperialisme).
Demi ambisi Nekolim menguasai / menjajah perekonomian dunia khususnya di Asia Tenggara tahun 1997 konspirasi ini mengguncang Moneter untuk menciptakan ketergantungan di berbagai Negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Guncangan itu serta merta membuat Indonesia terpuruk secara ekonomi dan tak punya pilihan, selain menyerah pada paket pertolongan IMF dengan sederet persyaratan-persyaratannya.
Persyaratan-persyaratan IMF itulah yang mengubah amanat Reformasi yang semula hanya menuntut amandemen atas masa jabatan Presiden, dalam sidang-sidang MPR (1999-2002) berkembang liar hingga menyentuh seluruh sistem di bidang Ekonomi, Hukum, Politik, hingga Sistem Tata Negara. Perubahan sistem yang drastis ini serta merta menjauhkan nilai-nilai Pancasila di dalam UUD 1945 sebagai dasar negara dan dasar konstitusi.
Perombakan sistem tersebut dimata mantan prajurit AL, Laksma (Purn) Bambang Susanto, SH, MH sangat memilukan bagi nasib bangsa. Dilenyapkannya peranan MPR sebagai lembaga tertinggi dan merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat telah membuat kekacauan dalam sistem berbangsa dan bernegara serta telah menghilangkan ruh musyawarah sebagai identitas politik bangsa Indonesia.
Kedaulatan rakyat tidak lagi berdasarkan hikmat permusyawaratan dan perwakilan dalam satu lembaga MPR, melainkan demokrasi berdasarkan persaingan bebas (liberalisme) yang mengandalkan pada kekuatan uang (kapitalisme), pragmatisme kekuasaan yang memunculkan banyaknya kelompok kepentingan dan golongan, serta lemahnya penegakan hukum dan check and balance.
“Kerusakan di segala bidang akibat perombakan sistem politik melalui amandemen UUD 1945 berdampat sangat serius pada sistem ekonomi yang ekstraktif yang menghisap sumber daya alam Indonesia untuk dinikmati bangsa asing,” tegas Bambang saat dihubungi SWARA SENAYAN (4/1/2017).
Selain itu, amandemen UUD 1945 telah merubah komposisi MPR, merubah model unicameral system menjadi bicameral system. Juga telah merubah pola pemilihan presiden secara langsung sangat liberalistik dan amandemen tentang pemerintahan daerah yang melegitimasi pemilihan langsung kepala daerah adalah juga demokrasi liberalistik yang berbiaya mahal.
Menurut Bambang, dampak buruk dari perombakan amandemen UUD 1945 pada rakyat, bangsa dan negara adalah tergerusnya ideologi Pancasila. Tanpa Pancasila kita hanya akan jadi bangsa tanpa wajah. Kita akan menjadi masyarakat yang tidak memiliki jatidiri, karakter dan budaya. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang mengedepankan kerjasama, gotong royong-royong, saling asah, asih dan asuh semakin terkikis didalam sistem politik liberal kapitalistik dengan mengedepankan persaingan, menguatnya nilai-nilai individualisme, imperialisme, neokolonialisme yang kemudian melahir-kan berbagai undang-undang yang lebih memihak pada kepentingan asing.
“Jatuhnya mayoritas sumber kekayaan alam Indonesia ke tangan asing kini berujung dan mengarah kepada kebangkrutan nasional, kemiskinan rakyat dan runtuhnya kedaulatan bangsa dan negara,” tegas Bambang yang juga sebagai Kabid Hukum PPAL.
Untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dan negara yang sudah dicaplok melalui perombakan konstitusi dasar Indonesia merdeka, Bambang menyampaikan argumentasi perlunya kembali ke UUD 1945 sesuai teks yang asli. Praktek sistem politik demokrasi liberal harus segera diakhiri. Saatnya mengatur dan menentukan nasib bangsa sendiri yang berdaulat.
“Sistem politik kita bukanlah pada Sistem Demokrasi Liberal tetapi Demokrasi Pancasila yang menempatkan musyawarah mufakat dengan representasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR adalah simbol lembaga bangsa yang harus kita jaga kewenangannya untuk memastikan hak-hak politik rakyat melalui kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara,” ujar Bambang, mantan Kadiskum AL.
Bambang menyinggung pada masa pemerintahan Soekarno, UUD 1945 mengalami dua kali pergantian, yaitu: diberlakukannya Undang-Undang Dasar RIS (negara federasi) tapi gagal, hanya berjalan enam setengah bulan, kemudian diganti dengan UUD Sementara (sistem parlamenter), juga gagal. Akhirnya disepakati bahwa, UUD 1945 inilah yang paling sesuai untuk membangun Indonesia. Setelah konstituante gagal menetapkan UUD definitif maka, melalui Dekrit 5 juli 1959, presiden menyatakan kembali ke UUD 1945.
Karena itu, Bambang menekankan bahwa dari sejarahnya UUD 1945 yang asli adalah dasar konstitusi yang menyelamatkan bangsa ketika mengalami turbulensi sosial politik. Seperti saat ini, ketika penyelenggaraan sistem politik negara menimbulkan ketidakadilan, ketimpangan dan melemahkan nilai serta falsafah bangsa Indonesia, menyeru kembali ke UUD 1945 Asli adalah suatu keharusan. *DAM