SwaraSenayan.com. Mega korupsi e-KTP tergolong salah satu bentuk perampokan APBN yang paling keji dan norak yang pernah terjadi di negeri ini. Bisa dikatakan lebih dari 51 persen anggaran e-KTP jadi bancakan politisi DPR, pejabat birokrat di Kemendagri dan swasta yang dikuasai juga oleh politisi di DPR. Untuk menjalankan mega korupsi ini dibutuhkan keberanian mental untuk merampok uang APBN.
Demikian disampaikan Haris Rusly selaku Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP) dalam keterangan pers yang diterima redaksi SWARA SENAYAN (14/3/2017).
Menurut Haris, jika anggaran yang dibagi-bagi di Banggar DPR saja mencapai angka 49 persen, maka sisa anggaran 51 persen tersebut pasti dirampok juga oleh perusahaan pemenang tender. Tidak menutup kemungkinan hanya 30 persen anggaran APBN untuk e-KTP yang digunakan untuk mengubah KTP kertas menjadi KTP plastik.
“Jadi, 70 persen anggaran e-KTP tersebut dipastikan dirampok. Hasilnya jelas, dari uang korupsi e-KTP, diantaranya dipakai para politisi tersebut untuk membiayai jadi Ketua Umum Partai (Golkar dan Demokrat), Ketua DPR, sebagian yang lain pasti dipakai untuk biaya Pileg dan Pilgub. Beberapa nama yang disebutkan dalam skandal e-KTP tersebut telah terpilih menjadi Gubernur,” terang Haris.
Untuk itu, Haris mengapresiasi nyali atau keberanian sejumlah politisi bandit dalam me-markup anggaran e-KTP patut diacungi jempol, sangat tega dan berani take risk (ambil resiko) untuk menjalankan sebuah kejahatan.
“Tak semua orang punya nyali dan keberanian merampok seperti itu. Karena itu, mereka para politisi tersebut pantas menerima label dari MURI sebagai politisi paling bernyali dan paling tega dalam merampok APBN,” tegas Haris.
Sebagai warga negara, menurut Haris, yang telah menjalankan kewajiban dipaksa bayar pajak, dipalak setiap berbelanja, saya merasa sangat dirugikan karena kejahatan korupsi e-KTP tersebut telah menempatkan data pribadi saya menjadi tidak aman, karena berpotensi jatuh ke tangan pihak yang dapat menyalahgunakan data tersebut.
“Data pribadi saya yang telah direkam melalui e-KTP, seperti nama, tempat tanggal lahir, alamat, agama, juga data biometrik seperti golongan darah, sidik jari dan retina mata, yang merupakan rahasia pribadi, yang semestinya menjadi rahasia negara, mungkin saja telah jatuh ke tangan pihak di luar dari negara,” ujarnya.
Jadi sebagai warga negara, Haris telah dirugikan secara berlapis dalam skandal e-KTP. Pertama, pajak yang saya bayarkan menjadi APBN telah dirampok secara sangat keji dan norak. Kedua, data pribadi saya yang seharusnya dirahasiakan oleh negara besar kemungkinan telah jatuh ke tangan pihak yang tak sepantasnya memiliki. Negara telah lalai dan tak bertanggungjawab melindungi kerahasiaan data pribadi warga negara. Ketiga, menghambat saya dalam membuat identitas pribadi, karena setelah mengantri dan membayar calo, hingga saat ini tak ada kepastian untuk mendapatkan e-KTP. *SS