Oleh: Derek Manangka
SwaraSENAYAN.com. Sebuah foto bersama antara wartawan-wartawan Indonesia dengan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, beredar secara viral di hampir semua media sosial. Foto peristiwa ini cukup menarik. Sebab secara politik diplomasi, foto tersebut mengirim semacam pesan bahwa kebijakan resmi pemerintah Indonesia tentang Israel boleh saja dilanggar oleh jurnalis.
Dari sudut kepentingan Israel, gambar itu juga menunjukkan betapa negara yang hanya berpenduduk 5 juta jiwa ini, lebih antisipatif dalam mempertahankan kepentingannya menghadapi negara-negara yang tidak bersahabat dengannya.
Israel juga menunjukkan bahwa ia bisa memperdaya Indonesia, sebuah negara ekstra besar dibanding Israel. Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke-empat di dunia, dengan total 250 juta jiwa.
Israel, negara liliput, secara sangat cerdik memanfaatkan wartawan dari sebuah negara besar sebagai alat diplomasi.
Pertemuan wartawan Indonesia dengan PM Israel, tak memiliki kekuatan diplomasi yang ril. Karena tidak mungkin para wartawan itu bisa memutuskan dibukanya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel.
Namun bagi Israel, kehadiran wartawan Indonesia di salah satu pusat terpanas dalam konflik antar bangsa, merupakan sebuah kemenangan diplomasi. Netanyahu dikenal sebagai seorang politisi Israel yang menganut garis keras. Politik luar negerinya sangat berbeda dengan PM Israel tahun 1990-an, Yitzak Rabin.
Dengan garis kerasnya itu, Netanyahu, sebetulnya tak butuh Indonesia. Tapi dengan dia difoto bersama dengan jurnalis yang berasal dari negara yang tidak bersahabat dengannya, foto bersama itu menjadi sangat bagus bagi citra porto folio Netanyahu.
Benyamin Netanyahu disebut garis keras dan berbeda dengan Rabin. Sebabnya, kalau Rabin masih mau berunding dengan Palestina, Netanyahu tidak mau sama sekali. Di tahun 1996, Rabin bahkan dibunuh oleh seorang warga biasa Israel yang sangat tidak suka kalau Israel – Palestina berdamai.
Pembunuh Rabin menganggap pemimpin Israel itu, telah memberi ruang istimewa kepada Palestina – atas upaya-upayanya mengakhiri konflik Israel – Palestina. Tidak heran, setelah Rabin terbunuh dan gagasannya hanya bisa dilanjutkan oleh Perdana Menteri penggantinya, Shimon Peres, kemudian Peres pun tersingkir dari lingkar kekuasaan, sikap Israel terhadap Palestina semakin keras. Sebab garis keras ini memang sesuai kebijakan Netanyahu maupun warga Israel yang mendukung pembunuhan Yitzak Rabin.
Hingga tulisan ini diturunkan pada Kamis pagi 31 Maret 2016, tidak ada reaksi resmi dari pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Luar Negeri terhadap kunjungan atau pertemuan wartawan Indonesia dengan PM Israel. Padahal sebelumnya beredar kabar Netanyahu menolak permintaan bertemu Menlu RI Retno Marsudi.
Kelompok pemerhati yang anti-Israel di dalam negeri pun, sama dengan Kementerian Luar Negeri. Diam seribu bahasa. Sikap seperti ini juga menarik. Sekaligus mecuatkan pertanyaan, apakah Kemlu dan kelompok anti-Israel di dalam negeri, menganggap kehadiran wartawan Indonesia di Israel, bukan lagi sebuah masalah ?
Pertanyaan mengemuka, sebab sikap dan situasi ini jelas sangat kontras dengan peristiwa yang terjadi 23 tahun lalu, tepatnya Februari 1993. Waktu itu, berita tanpa gambar yang saya kirim dari Jerusalem, Israel untuk harian “Media Indonesai” Jakarta, tempat saya bekerja ketika itu, langsung menuai kegaduhan. Reaksi dan protes keras di Jakarta merebak.
Protes yang demikian membahana tercermin dari reaksi KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam). Ormas dan LSM ini sangat marah terhadap wartawan Indonesia, khususnya yang mewakili harian “Media Indonesia”.
Sadar bahwa kemarahan itu tidak bisa direduksi dalam waktu singkat, membuat saya (hingga sekarang) selalu menghindari pertemuan dengan Yuszril Ihza Mahendra, Eggi Sujana dan Ahmad Sumargono (almarhum). Soalnya sebagai wartawan, saya satu-satunya yang disudutkan oleh mereka sebagai bagian dari jaringan Israel di Indonesia.
Sebuah tuduhan yang bagi saya merupakan hal tidak mengandung kebenaran sama sekali tentunya. Yang berangkat ke Israel dan waktu itu diterima oleh PM Yitzak Rabin serta Menlu Shimon Peres secara terpisah, bukan hanya saya. Tetapi mengapa hanya saya yang menjadi obyek bermasalah?
Dalam rombongan itu terdapat 3 wartawan lainnya: Nasir Tamara (Harian Republika), Taufik Darusman (Mingguan Business Weekly juga adik kandung politisi Golkar, Marzuki Darusman) dan Wahyu Indrasto (Majalah Eksekutif). Namun tetapi hanya saya yang disorot secara khusus.
Dan sorotan terhadap saya lebih karena status sebagai warga negara Indonesia dari kelompok minoritas. Sementara ketiga rekan itu sebagai warga muslim, aman dari berbagai tudingan. Situasi yang penuh amarah itu berlangsung relatif cukup lama. Sebab kami berada di Israel selama hampir dua pekan dan sekembali di tanah air, protes atas kunjungan tersebut masih terus berlanjut.
Ada pembakaran gambar saya dan kawan-kawan dalam bentuk karikutur maupun foto rekayasa oleh sejumlah pemuda di Mesjid Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Juga ada dan tuntutan terhadap PWI Pusat agar setidaknya organisasi profesional itu memecat saya dari keanggotaan, minimal memberi sanksi.
Di internal “Media Indonesia”, pun tak terkecuali. Pemilik suratkabar Surya Paloh (SP) terpaksa me-non aktifkan saya sebagai wartawan. Kuatir akan kemungkinan, kunjungan ke Israel itu digunakan oleh Menteri Penerangan Harmoko sebagai alasan untuk menutup atau membreidelnya.
Surya Paloh dan Harmoko saat itu sama-sama anggota Golkar, Partai Penguasa. Tetapi secara individual mereka berdua saling bermusuhan atau secara politik mereka juga bersaing. Keputusan SP, membuat saya tidak boleh bersentuhan dengan dunia pemberitaan.
Lembaga BAIS (Badan Intelejen Strategis) yang berkedudukan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pun diam-diam, secara khusus memanggil saya ke kantornya di daerah dekat dengan Ragunan. Untuk diperiksa tentunya. Untuk masuk ke kawasan itu saja, rasa tidak nyaman sudah sangat tinggi. Kantornya berada di daerah terisolir. Dari jalan raya Ragunan, masuk beberapa meter ke dalam dan melewati sebuah palang yang dijaga petugas di pos terdepan.
Perkantorannya tidak mencerminkan suasana keakraban. Disana saya diperiksa oleh Kolonel Albert Paruntu yang bertugas sebagai Dan Satgas, menggantikan Brigjen Farid yang sudah diangkat sebagai Pangdam Brawijaya. Suasana kebathinan saya agak melebur, karena Paruntu yang kemudian ditugaskan sebagai Atase Pertahanan RI di PTRI, New York, merupakan kakak kelas saya di SMA Negeri I, Manado.
Kembali ke Media Indonesia, saya kemudian ditugaskan mengurus percetakan, mengagas penerbitan media internal (newsletter) dan terakhir menulis buku tentang Gerakan Non-Blok. Kalau saja keberangkatan saya ke Israel bukan karena atas dasar persetujuan SP, nasib saya sebagai wartawan mungkin akan berbeda.
Surya Paloh mungkin langsung memecat saya. Tapi SP tidak melakukan itu karena sahamnya dalam perjalanan ke Israel itu, cukup besar. SP-lah yang meminta agar saya tidak menggunakan tiket pesawat gratis yang ditawarkan Israel untuk rute Jakarta – Tel Aviv pulang pergi.
“Jangan gunakan tiket Israel. Kita bayar sendiri. Tapi paspor kau harus dicap oleh Imigrasi Israel. Paspormu harus ada bukti bahwa kau memang masuk Israel. Dan dari Israel kau harus kirim berita. Nanti aku yang jaga gawang,” ujar Surya Paloh sebelum melepas keberangkatan saya dari Gedung Prioritas, Jl. Gondangdia Lama, Jakarta Pusat – gedung yang sekarang menjadi Kantor DPP Partai Nasdem.
Perasaan marah atau tidak suka terhadap saya dan kawan-kawan oleh ormas Islam, baru meredah setelah Meristek BJ Habibie bicara. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) BJ Habibie membuat pernyataan yang tegas. Kata Habibie, wartawan bebas kemana saja untuk pergi mencari liputan. Termasuk ke Israel tentunya.
Setelah Habibie, menyusul Menlu Ali Alatas. Pernyataan “Alex” Alatas sebenarnya tidak secara telak-telak membela tapi secara tersirat menilai kemarahan terhadap kami tak perlu berlanjut. Dan itu pun setelah saya sedikit memberinya tekanan.
Kepada pak Alex yang menerima kami bertiga : Taufik, Wahyu dan saya — Nasir Tamara tidak ikut, saya katakan: “Kalau Pak Alex (Menlu Alatas) tidak mau bantu kami, saya akan beberkan temuan saya tentang wartawan Kantor Berita Nasional “Antara” yang berkedudukan di Belanda. Dia masuk dengan fasiltas Israel dan tidak membuat laporan sama sekali. Apakah bukan dia, wartawan pemerintah Indonesia yang patur disebut sebagai agen Israel?” kata saya kepada Menlu RI tersebut.
Inti dari cerita pengalaman kami yang menyusahkan itu, adalah terjadinya kegaduhan. Berbeda dengan kunjungan wartawan saat ini atau sejak tahun 2007, dimana semua undangan wartawan ke Israel ditangani oleh Ketua Masyarakat Yahudi Australia yang berkedudukan di Sydney.
Sekalipun Indonesia bersikap pasif, tetapi Tel Aviv terus melakukan lobi terhadap Jakarta. Posisi Indonesia sebagai pendiri dan pernah menjadi Ketua Gerakan Non-Blok dianggap oleh Israel sebagai sebuah status yang cukup kuat. Sebab di dalam GNB terdapat sejumlah negara Arab yang anti Israel, tetapi dengan Indonesia, negara-negara tersebut punya hubungan baik.
Untuk itu setelah kunjungan ke Jakarta pada 16 Oktober 1992, tiga tahun kemudian, tepatnya Oktober 1995, Yitzak Rabin kembali menemui Presiden Soeharto di New York. Kebetulan saat itu bertepatan dengan perayaan ulang tahun PBB yang ke-50 tahun. Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Soeharto dan Rabin hadir di acara itu.
Pertemuan mereka berdua di Hotel Waldorf, Manhattan, New York, berbeda dengan kunjungan Rabin ke Jakarta pada Oktober 1992. Pertemuan New York, sama sekali tidak dirahasiakan. Setidaknya bagi wartawan Indonesia yang ikut rombongan Presiden Soeharto.
Sebab dalam buku agenda yang dibagikan oleh Sekretariat Negara ketika itu, pertemuan Soeharto – Rabin, sudah tercantumkan. Buku agenda itu dicetak di Jakarta dan isinya mencakup perjalanan Presiden Soeharto sebelumnya.
Sebelum ke New York, Presiden Soeharto lebih dulu hadir di KTT GNB, Cartagena, Kolombia. Bisa ditafsirkan, sebelum ke Cartagena, Kolombia pejabat RI di Jakarta dan counter-partnya di Tel Aviv atau Jerusalem, sudah melakukan koordinasi tentang pertemuan Soeharto – Rabin di New York, AS. Dengan kata lain, tanpa hubungan diplomatik pun, para diplomat kedua pihak, bisa saling berkoordinasi.
Moral dari cerita atau kupasan ini berada pada satu catatan. Bahwa soal kebijakan diplomasi kita dan Israel, di era Soeharto terdapat kejelasan atau lebih bisa dipahami. Yaitu sebagai pemimpin Soeharto memiliki kepekaan. Sebagai Presiden, Soeharto punya cara bagaimana menembus kebuntuhan yang ada dalam hubungan Indonesia – Israel. Tapi sebagai pemimpin, dia juga peka terhadap kondisi dan sikap masyarakat Indonesia yang tidak semuanya paham tentang ABC Politik Internasional.
Oleh sebab itu menghadapi Israel yang begitu agresif dan ofensif dalam berdiplomasi, Soeharto punya sikap dan cara sendiri. Tanpa gembar-gembor, pemerintahan Soeharto dapat melakukan transaksi pembelian pesawat dan peralatan tempur.
Negara Yahudi ini tetap menempatkan Indonesia sebagai faktor yang cukup atau bahkan sangat penting. Tetapi kehati-hatian yang tinggi atau sikap “prudent” juga tak boleh diabaikan. Dalam penyelesaian konfliknya dengan Palestina, kelihatannya hanya Indonesia yang Israel tempatkan sebagai “the last resort”. Dan kebijakan itu sudah menjadi kebijakan resmi, sehingga siapapun yang memerintah di Israel, tetap akan melanjutkannya.
Hal ini tercermin dari kebijakan pemerintahan Benyamin Netanyahu. Secara ideologi dia sangat menentang perundingan dengan Palestina. Kebijakan yang bertolak belakang dengan garis Yitzak Rabin ataupun Shimon Peres. Kalau ditarik garis, Netanyahu juga tidak dalam posisi suka untuk menerima wartawan Indonesia.
Namun Netanyahu tetap bersedia menerima kunjungan wartawan Indonesia, hal yang sudah dipelopori Yitzak Rabin. Sebab kebijakan itu sudah menjadi kebijakan negara. Bukan partai yang memerintah. Yang menimbulkan kebingungan adalah kebijakan diplomasi Indonesia. Tidak ada standar yang bisa dijadikan sebagai ukuran. ■mtq