Enak Betul Yaa… Karpet Merah Bagi Pengeruk Bijih Nikel diatas Lahan Ratusan Ribu Hektar

Ayo Berbagi!

nikelTulisan Viral di Medos oleh Bambang Tri Muljanto, Mantan Dir. KITSDA Direktorat Pajak.

​​​
SwaraSenayan.com. Saya mengamati dengan kagum sebuah perusahaan PMA dari RRC yang menginvestasikan puluhan triliun rupiah uangnya di suatu wilayah masih perawan (baca: tanpa infrastruktur) di “pinggang” pulau Sulawesi. Perusahaan ini membangun infrastruktur sendiri mulai dari dermaga, jalan, tanur-tanur peleburan, power plants, area penimbunan bahan baku dan barang hasil produksi, instalasi pengolahan air bersih dan ekstraksi oksigen dari air laut, asrama pegawai, rumah sakit dan infrastruktur lainnya, yang diperlukan untuk melakukan kegiatan usaha peleburan bijih nikel yang ditambang dari ratusan ribu hektar areal penambangan yang mereka kuasai.

I also admire more than 5000 employees, both blue and white collars, who diligently and productively (just not to say militantly) work for the company in the middle of nowhere. Most of them, more than 95 percent, are Republic of China Nationals. Only a small number of employees are Indonesians.

Setelah mengagumi kehebatan semangat para pencari uang itu, saya lalu bertanya pada diri sendiri: “Apa ya kira-kira yang didapat oleh rakyat Indonesia, pemilik asli dari sumberdaya alam Indonesia, dari kegiatan PMA itu?”

  • Apakah lapangan pekerjaan (biasanya perusahaan PMA dari Jepang, Eropah dan Amerika menawarkan banyak lapangan kerja kepada buruh Indonesia yang relatif murah)? Jawabnya: Jelas Tidak,  karena 95 persen lebih pegawai perusahaan itu DIDATANGKAN dari China!!!
  • Pajak kah yang diperoleh? Yuk kita lihat sama-sama:
    • Corporate Income Tax? Kayaknya sangat kecil atau nihil, atau malahan lebih bayar, kenapa? Karena perusahaan mendapat berbagai fasilitas kemudahan penanaman modal termasuk investment allowance dan pembebasan pajak-pajak atas impor, sementara itu Credit Withholding Taxes justru refundable.
    • Payroll Taxes? Enggak juga, karena warga RRC yang bekerja di perusahaan itu digaji sebesar PTKP Indonesia dalam bentuk biaya hidup dan akomodasi yang disediakan oleh perusahaan plus sedikit uang saku, sedangkan hak gaji yang lebih besar dibayarkan kepada keluarganya di RRC (DJP tidak bisa mengakses data ini).
    • VAT? Enggak lah ya, perusahaan ini justru kerjaannya minta restitusi PPN karena semua produksinya diekspor ke RRC.
    • PBB? Mungkin ini satu satunya pajak yang mereka bayar, lalu berapa besarnya?
  • Royalty yang dibayarkan kepada pemerintah atas hak penambangan? Saya rasa ini juga dibayar oleh PMA ini, tapi berapa besarnya? Nobody knows, karena semua informasi tentang volume kegiatan penambangan, smelting dan ekspor nikel yang tahu hanya perusahaan PMA itu sendiri. Pihak pemerintah Indonesia sepenglihatan saya, tidak “hadir” di lokasi untuk mengawasi semua kegiatan pada setiap saat, sehingga tidak bakal tahu berapa sesungguhnya kekayaan Indonesia yang telah dikeruk. Ibaratnya, kalau perusahaan PMA itu membeli nikel dari pemerintah Indonesia, perusahaan itu dipersilakan mengambil sendiri dan membayar sesuai yang dia mau, enak betul ya…
  • Payment in any other forms? could be, but only God knows.
  • Multiplier Effect? Mungkin ada tapi pasti tidak besar, semua bahan untuk membangun infrastruktur dan operasional perusahaan, sejauh dimungkinkan, menggunakan produk dan teknologi China dan jasa subkontraktor juga didatangkan dari negeri yang sama. Jadi kalaupun ada multiplier effect, akan lebih banyak terjadi di China, bukan di Indonesia!!!

Walhasil kekaguman saya disaat mengamati kehebatan warga RRC dalam kasus di atas,  tiba-tiba berubah menjadi kedongkolan luarbiasa, yaitu ketika saya melihat dari sisi Indonesia sebagai pemilik sumberdaya alam. “Kebaikan hati” pemerintah yang menyambut investor dengan karpet merah, untuk mengeruk SDA milik kita Bangsa Indonesia for only little compensation itu telah membuat saya marah (sebentar saja sih, gak mau kena stroke kalau marahnya berkelanjutan). *SS

Ayo Berbagi!