Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
SwaraSenayan.com. Judul tulisan ini diambil dari judul yang sama pada acara talkshow di Indonesia Business Forum, TVOne, tanggal 3 Juli 2019 yang lalu. Judul talkshow ini mengundang berbagai reaksi, khususnya terkait kata ‘Ekonomi Rapuh’. Ada yang tidak sependapat, dan melayangkan protes. Menurut mereka, ekonomi Indonesia saat ini baik-baik saja, bahkan bagus, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen. Bagaimana mungkin kondisi seperti ini dikatakan ekonomi rapuh.
Di lain pihak, ada juga yang berpendapat judul ini mencerminkan realita, mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya, yang memang termasuk rapuh. Oleh karena itu, judul ini layak diberi apresiasi karena mencerminkan kebenaran dan kejujuran. Dan hanya dengan mengakui kebenaran dan kejujuran, sepahit apapun, kita baru bisa memperbaiki kelemahan, dan mencari solusi untuk mengatasi kelemahan tersebut. Sebaliknya, pujian palsu Asal Bapak Senang, atau Asal Rakyat Senang, bisa membawa ekonomi bangsa ini ke jurang kehancuran.
Kata Rapuh sendiri seharusnya tidak perlu terkesan negatif. Rapuh dalam kamus Bahasa Indonesia artinya tidak kuat, atau lemah. Dalam Bahasa Inggris bisa diartiikan fragile. Oleh karena itu, Ekonomi Rapuh bisa diartikan ekonomi dalam kondisi lemah. Tahun lalu, beberapa media asing juga menurunkan tulisan yang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia dalam kondisi fragile: alias rapuh.
Indikasi bahwa Ekonomi Indonesia Rapuh dapat dilihat sebagai berikut.
Pertama, realisasi pertumbuhan ekonomi periode 2015-2018 (selama 4 tahun) hanya 5,04 persen per tahun, jauh di bawah target pertumbuhan yang ditetapkan sebesar 7 persen. Realisasi pertumbuhan yang relatif rendah ini jelas tidak mencerminkan ekonomi Indonesia kuat. Bahkan melemah. Realisasi pertumbuhan ini juga lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi periode 2010-2013 (selama 4 tahun) pada pemerintahan sebelumnya yang mencapai 6,0 persen per tahun. Berdasarkan kedua hal di atas, ekonomi Indonesia saat ini pantas dikatakan lemah, atau melemah, alias menjadi lebih rapuh dari periode sebelumnya, atau dibandingkan target.
Kedua, rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio terus menurun, dari 11,36 persen pada 2014 menjadi 10,25 persen pada 2018. Bahkan triwulan I 2019, tax ratio hanya 7,4 persen. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Kemampuan fiskal pemerintah patut dipertanyakan. Kondisi fiskal yang sangat lemah ini dapat mengakibatkan pajak dan bea naik untuk mengisi kas negara, yang pada gilirannya akan berakibat negatif pada pertumbuhan ekonomi. Karena tax ratio yang rendah membuat pemerintah tidak berdaya, kemampuan stimulus ekonomi terbatas, defisit anggaran membesar, dan utang negara meningkat.
Terakhir, performa neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan juga sangat mengkhawatirkan. Ekspor anjlok. Performa ekspor tertinggi dicapai tahun 2011 dengan nilai ekspor 203,5 dolar AS. Tahun 2018, ekspor Indonesia hanya tinggal 180,06 miliar dolar AS. Di lain pihak, impor malah meningkat. Tahun 2011 impor tercatat 177,44 miliar dolar AS, dan tahun 2018 naik menjadi 188,63 miliar dolar AS.
Dengan demikian, neraca perdagangan anjlok dari surplus 26,06 miliar dolar AS pada 2011 menjadi defisit 8,57 miliar dolar AS pada 2018, yang mana merupakan performa neraca perdagangan terburuk sepanjang sejarah Indonesia.
Neraca transaksi berjalan juga semakin memprihatinkan. Defisit tahun lalu mencapai 31,06 miliar dolar AS atau setara 2,98 persen dari PDB. Defisit transaksi berjalan Q1-2019 bahkan memburuk, mencapai 6,97 miliar dolar AS, dan jauh lebih buruk dari defisit Q1-2018 yang hanya 5,2 miliar dolar AS.
Akibatnya, utang luar negeri pemerintah melonjak tajam. Untuk periode 4 tahun pemerintahan periode 2015-2018, utang luar negeri pemeritah naik 59,39 miliar dolar AS, dari 123,81 miliar dolar AS pada akhir 2014 menjadi 183,2 miliar dolar AS pada akhir 2018, atau naik 47,97 persen, Padahal, selama 4 tahun pertama pemerintahan sebelumnya, utang luar negeri pemerintah hanya naik 25,8 persen saja.
Dari uraian di atas, tersirat jelas sekali bahwa kondisi ekonomi Indonesia dalam empat tahun terakhir ini semakin lemah. Dengan kata lain, semakin rapuh. *SS