Oleh: Wahyu Triono KS
SwaraSenayan.com – Hampir semua peristiwa, kejadian dan kebijakan politik tidak lagi bisa di analisis dengan ilmu politik. Begitu juga dengan peristiwa, kejadian dan kebijakan ekonomi tidak lagi dapat dianalisis dengan ilmu ekonomi sehingga muncul ilmu ekonomi politik yang memiliki perspektif berbeda dengan ilmu politik atau ilmu ekonomi. Karena Ekonomi Politik memiliki fokus kajian, landasan teori, dan metodologi tersendiri.
***
Dalam Ilmu Administrasi kajian tentang ekonomi politik memang masih terlalu baru sehingga masih belum banyak dipergunakan sebagai pisau analisis tentang peristiwa, kejadian dan berbagai kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Dengan menggunakan Classical Political Economy Perspective, New Classical Political Economy Perspektif atau New Political Economy Perspektif terutama dengan analisis yang mendalam tentang Siapa aktornya (Who?), Apa kepentingannya (What?) dan bagaimana modus operandinya (How) maka seluruh peristiwa, kejadian dan kebijakan yang seolah sulit diurai dan dianalisis dapat dipetakan dengan Mudah.
Apalagi tarikan kepentingan pribadi dan kelompok yang sering mencengkram dan mendominasi kepentingan publik menyebabkan setiap waktu dan setiap saat masing-masing memproduksi kecurigaan demi kecurigaan.
Apalagi inti dari kebijakan publik yang merupakan pelayanan publik menjadi variabel terikat yang hanya dipengaruhi oleh satu variabel electoral transaksional dan kalkulasi kuantitatif maka pelayanan publik dan wacana publik hanya dilatar belakangi oleh popularitas dan elektabilitas semata. Ini konstituen dan pendukung saya dan itu bukan konstituen dan pendukung saya.
Mengapa ini terjadi? Pertama, Karena negeri ini hanya memproduksi kebijakan dan pertarungan hanya dalam kalkulasi menang kalah dalam hitungan kuantitatif dan bukan berdasarkan argumentasi menang kalah dalam perdebatan, musyawarah dan mufakat yang bersifat kualitatif. Kedua, negeri ini tidak memiliki panutan, teladan yang autentik dan orisinil. Setiap waktu terjadi devisit para negarawan.
Padahal dengan amat gagah Manuel L. Quezon Presiden tetangga kita Philipina ketika dilantik pada 1941 menyatakan, “Ang katapatan ko sa aking pattido ay magwawakas sa pagsibol ang katapatan ko sa aking bansa.” (Loyalitas saya kepada partai berakhir begitu saya memulai loyalitas saya kepada negara).
Begitu juga Woodrow Wilson dan tentu Mahatir Mohamad menjadi teladan dari negara tetangga. Selain berbagai keteladanan dan kenegarawanan Bung Karno, Hatta, M. Natsir, H. Agus Salim dan sederet nama lainnya. Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah).
***
Dimasa depan ini kita mencemaskan hadirnya fenomena tirani dan diktator mayoritas terhadap minoritas. Mayoritas dimaksudkan dalam penguasaan aset dan kuantitas ekonomi dan politik, kelompok, partai juga mayoritas dalam kalkulasi suku, agama, ras dan antar golongan.
Dengan realitas semacam itu, kalimat heroik dari John F Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.” Menjadi kelu untuk diucapkan dalam relasi antara publik dan republik. *SS