SwaraSenayan.com. Sejak tahun 2010 kinerja keuangan Perusahaan Gas Negara (PGN) turun terus, sehingga tahun 2018 nanti sudah tidak layak lagi ada di Jakarta Stock Exchange (JSE), karena secara fundamental keuangannya sudah menjadi perusahaan yang bangkrut. Oleh sebab itu, harus di-suspend.
PGN sebagai perusahaan publik wajib menerapkan good corporate governance. Disamping itu pula, saham mayoritasnya dimiliki negara, sehingga seharusnya tata kelola PGN harus sangat baik dibanding BUMN yang tidak terbuka lainnya karena di PGN ada kendali negara sekaligus publik.
Demikian menurut Dr. Ahmad Redi sebagai ahli hukum pertambangan dan energi yang juga sebagai Wasekjen IKA FH UNDIP kepada SWARA SENAYAN (17/10/2017).
Menurut Redi, bila profit turun maka selain tata kelola internal mesti dilihat juga apakah kebijakan pemerintah telah berpihak pada PGN. Akhir-akhir ini memang terlihat bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada PGN seperti adanya wacana holdingisasi PGN sesuai PP No.72/2016.
“Saya kira bisa saja PGN diakuisisi dengan Pertagas, bukan menempuh jalan merger agar ada satu entitas pengelolaan usaha gas oleh satu BUMN,” katanya.
Artinya, Redi menilai hanya ada satu BUMN tunggal yang mengurusi tata kelola gas. Namun, bila merger atau akuisisi PGN dengan Pertagas menempatkan PGN dibawah Pertamina sebagaimana Pertagas maka akan berdampak pada swastanisasi PGN.
Menurut PP 72/2016 bila BUMN diakuisi oleh BUMN lain, maka BUMN yang diakuisisi menjadi anak perusahaan BUMN. Bila jadi anak perusahaan BUMN maka jelas telah terjadi swastanisasi BUMN karena yang tadinya BUMN tersebut sahamnya dimiliki negara beralih menjadi sahamnya dimiliki oleh BUMN lain. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mengingat gas merupakan SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak.
“Tata kelola BUMN tidak boleh dilepaskan dari landasan filosofisnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI 1945. BUMN di sektor SDA dan Energi mesti mewujudkan penguasaan negara atas kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” urai Redi.
Karena itu, menurut Redi kalau merger artinya peleburan yang mengakibatnya PGN dan Pertagas bubar membentuk entitas hukum baru. Sedangkan kalau akuisisi artinya pengambilalihan yang akibatnya salah satu perusahaan bergabung dengan perusahaan lain.
“Menurut saya Pertagas diakuisisi PGN. Jadi Pertagas masuk menjadi bagian dari PGN. Pengelolaan gas secara satu atap dibawah PGN,” paparnya.
Dengan PGN yang kuat, Redi menilai akan berdampak kepada masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Bila PGN untung besar maka deviden untuk negara digunakan sebagai modal kesejahteraan rakyat.
Walau untuk harga gas memang banyak faktor lain selain dipengaruhi oleh akuisisi Pertagas oleh PGN. Kebijakan akuisisi ini memang tidak menjadi kebijakan yang populis karena menyangkut kelembagaan sebuah entitas hukum.
“Bila pilihannya adalah merger PGN ke Pertagas atau PGN mengakuisisi Pertagas maka pilihan kedua akan lebih baik,” kata Redi.
PGN merupakan perusahaan publik yang well established. Dia BUMN, sedangkan Pertagas relatif tidak stabil seperti PGN. Pertagas pun bukan BUMN. Ia hanya anak perusahaan BUMN (Pertamina). *dam