Oleh: Djoko Edhi S. Abdurrahman, SH.
SwaraSENAYAN.com. Saya sedang menangani banding perkara Sudarto, Dirut PT Hakayo Kridanusa yang oleh JPU disangka melanģgar primer UU 31 diubah jadi UU 20 tentang Tipikor, jo Pasal 64 Ayat 1 jo pasal 55 Ayat 1 KUHP. Primernya sudah gugur. Tapi subsidernya tidak.
Masalahnya tuduhan primernya sama persis dengan tuduhan subsidernya pasal 3. Hakim tingkat 1 telah menggugurkan tuduhan primer, tetapi hakim menghukum 5 tahun penjara dari 9 tahun tuntutan jaksa. Yang aneh hakim juga menghukum terdakwa denda Rp 27 miliar. Sampai di sini, saya ingin menjelaskan kasus audit yang salah oleh BPKP.
BPKP tidak melakukan audit investigasi, tetapi hanya melakukan audit biasa. Pada kasus Sudarto, BPKP melakukan pengambilan sample (sampling) di tiga tempat. Salah satu tempat atau lokasi sampling salah, yaitu di gudang barang afkir. Bukan di barang sedang dipakai. Maka kenaklah Sudarto.
Perbedaan Audit biasa, artinya jika barang banyak, dapat menģgunakan metode sampling. Yang dimaksud dengan sampling adalah pengambilan data secara random (acak). Yang dimaksud metode random, adalah semua sampling memiliki peluang yang sama. Jadi semua barang (populasi) ditandai, Lalu diundi. Muncullah nomor sampel yang lalu dtetapkan menjadi sampel.
Ratio jumlah sampel dengan jumlah barang ditarik menggunakan margin errornya. Kalau misalnya jumlah penduduk se DKI Jakarta, sekitar 1360 an sampel pada posisi alpha 5%. Yang dimaksud rasio margin eŕror adalah jumlah sampel yang mampu mewakili populasi.
Pada audit investigasi, tidak boleh menggunakan sampling. Yang dimaksud audit investigasi adalah audit yang diperintah oleh UU NO 17 / 2003 tentang pertanggung jawaban pengelolaan keuangan negara; Bendahara Negara; dan Auditor Negara.
Audit Investigasi adalah audit khusus, hanya.boleh dilakukan untuk mengaudit kasus dugaan korupsi. Audit investigasi, wajib menggunakan 100% populasi. Metodenya sama dengan sensus. Tidak boleh menggunakan metodologi sampling. Dengan demikian, kesalahan pada audit investigasi nyaris zero.
Pada kasus RSSW, jenis audit yang dilakukan BPK adalah audit investigasi, bukan audit umum. Tapi dalam audit untuk Sudarto, yang dilakukan oleh BPKP adalah audit umum.
Fungsi audit investigasi adalah menghitung kerugian keuangan negara akibat tindakan korupsi. Mengapa harus dihitung, sebab dalilnya tiada kesalahan jika tiada tindakan. Jadi, penghitungan pada audit investigasi sasarannya adalah “tidakan” atau delik.
Fungsi pada tindakan tadi, adalah dasar untuk menyusun Petitum. Itu wajib. Tanpa petitum, tak ada delik. Karena petitum pula maka terbentuk bukti dan dalil. ■