Oleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America)
SwaraSenayan.com. Nampaknya memang tiada peristiwa alam kecuali memang punya makna dan rahasia. Termasuk aksi-aksi yang terjadi di Jakarta dengan tujuan membela Islam dan negara. Sekali lagi, membela Islam dan negara.
Di Amerika Serikat nomor 411 adalah panggilan ketika membutuhkan sesuatu yang bersifat “non emergency”. Sementara nomor 212 adalah satu dari kode panggilan telpon di kota New York.
Jika kita simak kedua nomor ini maka tentu sangat relevan dengan semangat perjuangan teman-teman di Jakarta. 411 atau aksi 4 Nopember lalu mengindikasikan sebuah keperluan penting, walaupun belum bersifat “life threatening” (hidup-mati). Itu terjadi karena tuntutan kepada apa yang disangkakan sebagai “penistaan agama”, di satu sisi sudah berjalan, tapi di sisi lain ada indikasi dilambankan, bahkan ada upaya dialihkan.
Setelah proses hukum terjadi dan ditetapkannya sang tertuduh sebagai “tersangka” maka nomor yang relevan adalah 212. Sebuah kode utama panggilan telpon di pusat kota New York (Manhattan). Kenapa nomor ini? Karena ini nomor biasa untuk saling berkomunikasi, silaturrahim dan saling mengingatkan. Bahwa panggilan 411 itu jangan diremehkan. Jika tidak maka boleh jadi berubah dari keperluan menjadi kebutuhan mendesak alias “emergency“.
Dan kalau ternyata pertimbangan itu menjadi pertimbangan “darurat” maka nomor yang akan mengawali panggilan itu adalah 911. Harapan kita tentu tidak perlu. Maklum Jakarta terlalu padat untuk panggilan-panggilan darurat seperti itu.
Aksi 212
Sejujurnya sebagaimana kekaguman saya pada aksi 411, dimana jutaan manusia keluar ke jalan-jalan melakukan tuntutan, dan relatif aman, tertib dan damai. Tuntutan hukum kepada seorang minoritas Kristen China yang dianggap telah menodai ajaran agama mayoritas Muslim. Tapi tak satu kasus pun yang mengganggu agama maupun etnis lain dari kalangan minoritas itu.
Kini Aksi 212 akan berlangsung. Walaupun sempat terancam pelarangan polri, kini sebaliknya justeru polri akan turun tangan dan mambantu kelancaran aksi itu. Bahkan dibentuk semacam kepanitiaan bersama umat dan pihak pengamanan (Polri dan TNI).
Tentu akan banyak “qiila wa qaala” (gosip kiri kanan) dimana-mana. Aksi ini adalah “ekstremisme”, aksi ini “intoleransi”, aksi ini mengganggu ketetiban umum, hingga aksi ini sebagai “makar” kepada negara.
Apapun itu sekali lagi saya sangat bangga, baik sebagai seorang Muslim, dan juga sebagai orang Indonesia. Alasan saya sederhana:
Pertama, Dunia bangga dengan Indonesia. Salah satunya adalah karena Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam praktek demokrasi. Dalam konteks ini kebebasan ekspresi menjadi salah satu esensi demokrasi. Dan ekspresi ketidak setujuan terhadap sesuatu dalam bentuk demonstrasi, termasuk kepada pemerintah, adalah bentuk ekspresi yang demokratis dan dijamin oleh konstitusi.
Oleh karenanya aksi yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia adalah bentuk dan indikasi demokrasi yang sehat dan subur. Yang aneh, ketika mereka yang selama ini mengagungkan demokrasi tiba-tiba berbalik dan melihat aksi ini sebagai ancaman.
Kedua, Salah satu karakter kehidupan demokrasi yang sehat adalah hadirnya “check and recheck” masyarakat terhadap pengambil kebijakan publik, termasuk dalam penegakan hukum. Oleh karenanya sebuah proses hukum harus dikawal, diawasi, sehingga kepastian penegakan hukum itu ada. Apalagi memang ketika penegakan hukum itu memang rentang di intervensi oleh kekuasaan politik. Di sinilah urgensi aksi-aksi publik yang damai dan dalam ruang kebebasan yang bertanggung jawab dan demokratis.
Ketiga, Aksi-aksi yang terjadi di Jakarta dan Indonesia sesungguhnya merupakan “spirit renewal” atau pembaharu semangat membangun nasionalisme dan kebangsaan umat. Sejak perjuangan merebut kemerdekaan, hingga membangun dan mengisi kemerdekaan, umat Islam telah menjadi pilar sentra kebangsaan itu. Indonesia tidak akan maju tegap, stabil, makmur dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain kecuali umat Islam mengambil peranan penting di dalamnya.
Perdamaian, kemajuan, kemakmuran umat itulah wajah Indonesia. Ketentraman dan keadilan yang dirasakan oleh umat itulah yang akan menjadi rasa Indonesia. Bagaimana tidak, umat ini menjadi “jantung” dan “urat nadi” kehidupan berbangsa kita.
Keempat, Upaya-upaya perpecahan atau memecah belahan, baik secara intra-umat maupun antar umat Indonesia, bahkan antara umat dan penguasa gagal. Kegagalan ini sekaligus membuktikan komitmen “ukhuwah” sekaligus komitmen bernegara umat yang berdasarkan “Persatuan Indonesia”.
Aksi Jakarta, baik 411 maupun 212, keduanya baik secara langsung atau tidak merupakan kolaborasi mayoritas putra-putri bangsa. Aksi ini tidak sedikit mendapat dukungan dari umat agama lain. Dan sudah tentu aparat keamanan (kepolisian) ikut dalam melancarkan dan menjaga aksi tersebut. Intinya, aksi itu menjadi indikator kuat jika persatuan kebangsaan itu masih solid.
Kelima, Rencana aksi 212 itu juga sekaligus membuktikan bahwa komitmen keislaman bangsa tidak akan bisa dipisahkan dari kecintaan kepada negara. Bahwa sentimen Islam itu telah menyatu dengan semangat nasionalisme. Dan oleh karenanya jangan pernah dibenturkan. Keduanya sejalan, bagaikan ruh dan jasad dalam kehidupan berbangsa.
Ingat, kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan dan dibangun di atas pekikan Allahu Akbar, linangan airmata dan tumpahan darah pejuang-pejuang umat. Dan karenanya upaya memisahkan umat dari kehidupan berbangsa dan bernegara bagaikan memisahkan ruh dari jasad kehidupan.
Keenam, Khusus untuk aksi 212 dengan tema “Aksi Super Damai” dan dilakukan dalam bentuk sholat, dzikir dan doa, menunjukkan jati diri bangsa. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius, tapi mengedepankan nilai-nilai kedamaian dalam bersikap. Religiositas bangsa yang damai ini akan dicatat oleh sejarah dan dunia bahwa Indonesia adalah negara yang unik dalam tatanan dunia.
Setelah membuktikan jika Islam dan demokrasi senapas, kini kembali akan dibuktikan bahwa komitmen relijiusitas dan perdamaian itu adalah pilar pembangunan dunia. Bukan seperti yang dipersepsikan bahwa sebuah bangsa semakin relijius akan semakin sangar dan menakutkan.
Ketujuh, Aksi Jakarta juga pada akhirnya membuka mata dunia bahwa bagi orang-orang tertentu agama bukan “lip service” atau sekedar “hiasan” yang dapat dirubah, dimainkan, ditinggikan di satu waktu, tapi direndahkan di waktu lain. Aksi ini membuka mata bahwa bagi orang-orang Islam, dan saya yakin juga bagi umat lain, agama adalah fondasi hidup. Oleh karenanya harus diambil secara serius dan sungguh-sungguh.
Harapan kita semua, kiranya aksi ini diperhatikan oleh pihak-pihak yang berwewenang, diambil secara sungguh-sungguh, dan ditindak lanjuti. Jangan sampai dilihat sebelah mata, apalagi dipolitisir dan dijadikan tunggangan politik bagi orang-orang tertentu. Atau dijadikan objek mainan, ditadah, digenggam, tapi kemudian dilempar ke dalam tong sampah.
Jika itu terjadi maka tidak mustahil nomor 911 akan ditekan. Menandakan jika negara Indonesia sedang menghadapi ancaman besar, sehingga perlu “intervensi darurat”.
Akhirnya, kepada pelaku aksi maupun pihak pengamanan agar menjaga “amanah” persatuan dan perdamaian. Jangan sama sekali tergoda oleh provokasi apapun untuk mencederai amanah itu. Jaga ketertiban dan keamanan sehingga aksi itu berlangsung dan insya Allah berakhir dengan aman dan damai.
Sebuah catatan sejarah yang membanggakan anak-anak bangsa. Amin! *SS