Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Ketua Network for South East Asian Studies (NSEAS).
SwaraSenayan.com. Kambing hitam bermakna pihak lain dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan, dijadikan tumpuan kesalahan atau mempersalahkan, menuduh bersalah. Padahal dia sendiri yang berbuat.
Istilah kambing hitam biasanya merujuk pada suatu peristiwa tidak ditemukan atau belum diketahui sebab sesungguhnya atau dengan sengaja menuduh atau menunjuk pihak lain sebagai sebab atau pihak lain melakukan kesalahan sehingga dirinya terbebas dari tuduhan atau sangkaan atas apa saja telah dilakukan.
Dalam psikologi dikenal teori proyeksi, yakni bentuk pertahanan diri dengan cara mengalihkan atau memindahkan sebab kegagalan atau tidak tercapainya suatu keinginan kepada luar dirinya bisa berupa pihak lain, benda, situasi bahkan hal-hal supranatural. Menyalahkan pihak lain atau sesuatu bisa disalahkan dalam upaya menghindarkan diri dari tuduhan kesalahan atau menghindari dari hukuman karena kesalahannya. Prinsipnya bisa membuat dirinya puas, atau bisa menghilangkan kecemasan karena dirinya tidak jadi menanggung malu atau mendapat hukuman. Akhirnya, pihak lain justru menjadi korban.
Bentuk pertahaan diri ini melibatkan “penipuan diri”, tetapi tidak bisa menghilangkan kecemasan secara tuntas. Didapatkan hanyalah kepuasan sementara dan bahkan menambah kecemasan. Mengapa? Karena dirinya selalu berpura-pura tidak melakukan apa dituduhkan kepada pihak lain serta memendam kecemasan suatu saat kesalahannya akan terbongkar atau pihak lain mengetahui sebenarnya dirinya melakukan. Maka, kecemasan terus berlangsung pada dirinya.
Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta, suka kambinghitamkan pihak lain. Berdasarkan teori proyeksi, suka kambinghitam ini merupakan bentuk “penipuan diri” untuk bisa menghilangkan kecemasan diri. Kambinghitam pihak lain merupakan cara mengalihkan atau memindahkan sebab “kegagalan” atau “tidak tercapainya suatu keinginan “ dari dirinya kepada pihak lain. Data dan fakta dibawah ini dapat menjustifikasi penilaian bahwa Ahok suka kambinghitam pihak lain sebagai bentuk “penipuan diri” dimaksud.
Dari sisi politik demokrasi, sesungguhnya suka kambinghitam pihak lain merupakan cerminan rendahnya tanggungjawab (akutabilitas publik) sebagai penguasa negara. Lazimnya, ini merupakan perilaku politik penguasa negara fasis dan otoriterian.
Beberapa data dan fakta Ahok suka kambinghitam antara lain:
- Banjir di kawasan Jalan Merdeka Selatan atau sekitar Istana Merdeka, Jakarta, karena PLN mematikan aliran listrik.
- Banjir karena ada sabotase kulit kabel.
- Kalau Banjir datang karena ada permainan “Oknum”.
- Kemenpora sebagai penghambat pembangunan MRT.
- BPK “ngaco” terkait Opini BPK terhadap Ahok sebagai Opini Wajar dengan Pengecualian (WDP).
- Saat terjadi wabah demam berdarah di DKI Jakarta. Ahok kambinghitamkan Nyamuk Bekasi Gigit Warga DKI Jakarta.
- Tak bisa menyelesaikan masalah, diterbitkan Pergub.
- Larangan Pengajian di Monas karena Pedagang Kaki Lima (PK5).
- Gagal mengembangkan Transjakarta, Direktur dipecat.
- Kalau gagal sebagai calon perorangan dalam Pilkada 2017 karena KPU tidak professional.
- Gagal atasi banjir di Jakarta Utara, dituduh Walikota Jakarta Utara, Rustam Effendi, pro Yusril sebagai Bacalon Gubernur DKI.
- Koran Tempo ungkap terima uang miliyaran rupiah untuk kasih aparat keamanan gusur paksa rakyat Kalijodo, tuduh Koran Tempo “jahat’ dan ada yang bocorkan dokumen di KPK, bahkan sesumbar mau tuntut Koran Tempo dan Pengembang Podomoro.
KESIMPULAN: Prilaku Ahok suka kambinghitam pihak lain sesungguhnya menjadi salah satu alasan, bukan satu-satunya, Ahok tak layak untuk lanjut sebagai Gubernur DKI Jakarta. ■ss