“Redefinisi” dan “Adaptasi” Nilai-Nilai Luhur Menjawab Spektrum Ancaman dan Tantangan Bentuk Baru

Ayo Berbagi!
HarrisRusli
Harris Rusli

Oleh: Haris Rusly, Petisi 28

SwaraSENAYAN.com. Sebagai sebuah bangsa yang dibentuk berlandaskan pada nilai-nilai luhur dan dipandu oleh cita-cita adiluhung, kita dituntut untuk senantiasa melakukan rumusan ulang dan redefenisi terhadap setiap tahap sejarah, perkembangan situasi dan lingkungan secara akurat dan objektif.

Jika tidak, maka dipastikan kita akan gagal dalam mengadaptasikan penerapan nilai-nilai luhur Pancasila dalam memimpin lompatan sejarah dan pertumbuhan peradaban umat manusia. Cita cita adiluhung bangsa kita juga pasti dihempas oleh badai sejarah jika tidak ada vision yang kuat terhadap masalah, ancaman dan tantangan yang sedang dihadapi.

Di dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada kita untuk senantiasa bertanggungjawab menjaga jangan sampai pertumbuhan sejarah peradaban umat manusia justru bergerak terpisah dari landasan nilai-nilai luhur, yang menghadirkan penjajahan dan penindasan terhadap manusia. Walaupun pertumbuhan sejarah selalu bergerak secara spiral, tapi kita harus menjaga agar gerak tersebut tidak menyimpang dari landasan nilai-nilai luhur (Ketuhanan, Kemanusian, Keadilan, Persatuan dan Kebersamaan).

Untuk itu, maka yang menjadi tujuan dari Proklamasi Kemerdekaan 1945 bukan untuk membangun alat-alat, perkakas, teknologi dan infrastruktur. Tujuan utama kita merdeka adalah untuk membangun manusia dan membangun bangsa, bangunlah jiwanya (spiritualitas), bangunlah badannya, “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pembangunan alat-alat, pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi haruslah ditempatkan sebagai sarana prasarana, sebagai alat, yang diabdikan untuk membangun manusia dan membangun bangsa. Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi tidak untuk membangun manusia dan bangsa, tapi sebagai komoditi dagang yang dibisniskan untuk memperkaya segelintir orang.

Karena itu kita harus menjaga agar jangan sampai pembaharuan dan kemajuan di level teknis dan alat-alat justru mengalahkan aspek yang strategis, yaitu mengasingkan manusia Indonesia dari nilai-nilai luhur. Jangan sampai pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi justru mengubur tujuan strategis dari revolusi kemerdekaan, yaitu untuk membangun manusia dan membangun bangsa. Jangan sampai yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab negara yang diamanatkan oleh sejarah dan konstitusi justru dijadikan sebagai komoditi dagang yang di-bisniskan.

Secara filosofi, pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi yang dibimbing oleh nilai-nilai luhur pasti akan menghadirkan keadilan sosial dan kemakmuran bangsa, menciptakan kemudahan-kemudahan kehidupan, mengurangi kerja-kerja fisik yang memperbudak manusia, serta menghadirkan kebersamaan melalui revolusi teknologi informasi.

Namun, jika revolusi teknologi dan pembangunan infrastruktur yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai luhur, dimonopoli dan dikendalikan oleh keserakahan, kapitalisme, maka yang terjadi justru seperti apa yang dikatakan oleh Bung Karno, “exploitation de I’homme par I’home dan explotation de I’nation par I’nation (penghisapan terhadap manusia oleh manusia dan penghisapan terhadap bangsa oleh bangsa).

Karena itu, dibutuhkan adaptasi penerapan nilai-nilai luhur Pancasila, agar Pancasila dapat hadir melandasi tiap tahap pertumbuhan sejarah, membimbing revolusi di level teknis dan alat-alat, melandasi revolusi teknologi dan pembangunan infrastruktur. Adaptasi penerapan nilai nilai luhur Pancasila juga dibutuhkan agar Pancasila tidak bernasib menjadi dogma dan alat kepentingan semata bagi segolongan orang untuk menjual negara, merampok dan memperkaya diri dan keluarganya dengan mengatasnamakan pembela Pancasila.

“Sebagaimana kisah ketika Yesus yang diutus Tuhan mengabarkan nilai-nilai luhur, tapi justru ditentang dan disalip oleh para rabbi yang menjadi pemimpin agama ketika itu. Nilai-nilai profetik (kenabian) yang diusung oleh agama yang establish ketika itu memang telah “berkarat” oleh perubahan ruang dan waktu. Agama tidak lagi menjadi kekuatan nilai-nilai, tapi telah jatuh menjadi alat kepentingan segolongan orang untuk menindas”.

Pemahaman terhadap situasi dan lingkungan  secara akurat dan objektif sangat dibutuhkan untuk mengadaptasikan penerapan nilai-nilai Pancasila secara tepat dalam melandasi dan membimbing pembaruan dan kemajuan di level teknis dan alat-alat, yaitu revolusi teknologi dan pembangunan infrastruktur.

Pandangan tersebut sangat sesuai dengan petuah leluhur bangsa kita yang disajikan dalam bentuk peribahasa melayu yang berbunyi “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Pepatah tersebut tak sekedar mengandung pesan yang mekanis agar kita senantiasa menghormati dan mengikuti kebiasaan dan adat istiadat di setiap tempat kita berada.

Peribahasa tersebut juga bermakna sangat dinamis terkait pemahaman “geopolitik”, bahwa tiap-tiap tempat kita berpijak dengan lingkup ruang dan waktu yang berbeda pasti menghadirkan situasi dan lingkungan yang berbeda, atmosfir yang berbeda, masalah yang berbeda, tantangan dan ancaman yang berbeda.

Peribahasa warisan leluhur tersebut menyampaikan pesan kepada kita untuk tidak menggunakan “kaca mata kuda” dalam menyelesaikan setiap masalah bangsa yang dihadapi. Kita membutuhkan filsafat dan metodelogi ilmu pengetahuan untuk mengenali, menafsirkan, meredefenisikan dan merumuskan setiap tahap pertumbuhan sejarah dan perubahan situasi lingkungan.

Jika kita belajar kepada kitab suci al-Quran dan seluruh kitab-kitab yang diturunkan sebelum Quran, maka kita akan menemukan bagaimana Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa meredefenisi dan merumuskan ulang situasi dan lingkungan untuk mengadaptasikan nilai-nilai dalam situasi dan lingkungan selalu berubah.

Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan: “kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”. Dari bunyi ayat tersebut sangat jelas mengandung pesan “bahkan kehendak yang dijunjung oleh langit pun harus berpijak di atas keadaan di bumi”.

Tak mungkin Allah menjelaskan dan membimbing nilai nilai illahiahnya kepada umat manusia menggunakan bahasa dan cara-cara ketika menghadapi malaikat yang hanya mengenal kebaikan dan kebenaran, atau syaitan yang hanya mengenal kejahatan dan kemungkaran.

Karena itu, istilah ‘bahasa’ yang digunakan al-Qur’an tersebut tak bermakna denotatif sebagai alat komunikasi semata. Istilah ‘bahasa’ juga bermakna konotatif, yaitu bermakna keadaan lingkungan, sejarah dan budaya kaumnya. Quran diturunkan sesuai dengan situasi dan lingkungan yang membentuk sejarah dan problem ekonomi dan politik yang sedang dihadapi oleh bangsa Arab ketika itu.

Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa tiap-tiap nabi yang diutus ke muka bumi tidak untuk menyangkal ajaran yang dibawa oleh nabi yang diutus sebelumnya. Semua nabi yang pernah di utus membawa nilai-nilai luhur berasal dari sumber yang sama, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tujuannya adalah menjaga agar gerak sejarah peradaban umat manusia tidak menyimpang dan senantiasa konsisten berlandaskan dan menuju nilai-nilai luhur.

Yang berbeda hanya bahasa dan aksara yang digunakan oleh tiap nabi untuk memasarkan nilai-nilai luhur, yang berbeda hanya lingkungan, sejarah ancaman dan tantangan yang dihadapi oleh setiap nabi. Demikianlah, maka umat Islam dijarkan untuk mengimani seluruh kitab beserta nabi dan rasul yang hadir sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW membawa Qur’an.

Turunnya satu kitab baru tidak dimaksudkan untuk menggantikan atau membantah kitab yang diturunkan sebelumnya. Datangnya Nabi Muhammad membawa ajaran Qur’an tidak untuk menggantikan Nabi Isa AS (Yesus) dengan ajaran Injil-nya. Hadirnya nabi Isa mengabarkan kitab Injil juga tidak dimaksudkan untuk menggantikan kitab Taurat. Demikian juga diutusnya Nabi Musa menyampaikan kitab Taurat tidak untuk tujuan membantah perkataan Tuhan yang tertulis dalam kitab Zabur yang disampaikan oleh nabi Daud.

Hadirnya setiap nabi dan rasul membawa kitab adalah untuk merumuskan situasi dan lingkungan yang sedang dihadapi, serta untuk mendefenisikan hadirnya bentuk baru dari ancaman, tantangan, kejahatan dan kemungkaran yang dilakukan oleh umat manusia. Hadirnya para nabi juga untuk  mendefinisikan kembali kebenaran dan kebaikan berlandaskan pada nilai-luhur, agar selalu adaptif membimbing dan melandasi pertumbuhan sejarah dan peradaban umat manusia.

Demikianlah, melalui berguru kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kita harus bangkit melalui rumusan yang tepat terhadap ancaman dan tantangan yang dihadapi, serta mengadaptasikan penerapan nilai-nilai luhur Pancasila dalam melandasi pembangunan peradaban manusia dan bangsa Indonesia. ■

Ayo Berbagi!