SwaraSENAYAN.com. Kegaduhan jelang Pilkada DKI Jakarta makin mengerucut pada sosok gubernur Basuki Purnama. Sosoknya yang dianggap tegas dan bersih itu telah menghipnotis netizen, hingga partai politik pun bertekuk pada kehebatan kemasyhuran Sang Gubernur petahana yang mau maju lagi mencalonkan diri untuk periode selanjutnya.
Namun, keperkasaan Basuki kini tersandung oleh kasus Sumber Waras. Berikut catatan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) atas pengadaan lahan bekas RS Sumber Waras (RSSW), yang disampaikan Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada SwaraSENAYAN (25/3). MAKI merinci 33 analisa dugaan penyimpangan sebagai berikut:
- Nomenklatur APBD-P 2014 pembelian lahan RSSW, prakteknya Pelepasan sehingga perlu satu tindakan berupa Permohonan atas tanah negara, permohonan belum tentu dikabulkan. Artinya dana bisa hangus dan total lost.
- Nomenklatur Pembelian, jika prakteknya Pelepasan maka tidak sah karena Pembeli belum mendapatkan barangnya, masih digantungkan persyaratan yang akan datang sehingga akte Pelepasan berbeda dengan akte Pembelian. Akibat hukum pembelian dan pelepasan jelas sangat berbeda.
- Nomenklatur Pembelian, SK Kadinas Pembelian, SK Gubernur Pembebasan dan Pengadaan, Pelasanaan berupa Pelepasan. Maka dasar hukum pembelian namun pelaksanaan Pelepasan maka menjadikan pelaksanaan cacat hukum.
- Nomenklatur pada evaluasi Mendagri adalah Pembelian RSSW, sehingga apabila prakteknya hanya pembelian sebagian lahan tanpa ijin kembali kepada DPRD maka tidak sah.
- Syarat yang diajukan dalam rapat-rapat persiapan terdapatnya akses jalan, yang kemudian dituangkan dalam akte pelepasan induk (terdapat ijin pembina), dituangkan dalam surat pernyataan Ketua YKSW tanggal 29 Desember 2014 (ttd Kartini Mulyadi) dan Akte 32 tgl 30 April 2015 Notaris Tri Firdaus Akbarsyah (ttd KM-Ketua dan Stefanus Hedianto Karnadi-Bendahara). Pelepasan jalan akses ini tidak sah karena tidak terdapat ijin dari Pembina sekaligus tidak terdapat ijin dari Perkumpulan Sin Ming Hui selaku pemilik SHM. Dengan tidak sahnya pelepasan akses jalan maka persyaratan belum terpenuhi sehingga tidak boleh dilakukan pembayaran.
- Akte Pelepasan yang digantungkan persyaratan kurun waktu 2 tahun untuk dapat menguasai atas permintaan Penjual maka dibutuhkan lagi Akte Pelepasan tanpa syarat sehingga Pembayaran hanya bisa dilakukan setelah Pelepasan tanpa syarat.
- SK Gubernur poin kesatu menetapkan lokasi Pembangunan RS Kanker yang terletak di Jl. Kyai Tapa sesuai gambar Peta No. 812/B/PPSK/DTR/XII/2014 yang dibuat tanggal sama yaitu 10 Desember 2014 dengan luas 36.754 m2 (tidak menyebut nomor sertifikat-jika mengacu sertifikat luasnya hanya 36.410) dengan demikian mengacu SK ini jelas lahan secara de facto dan de jure harus berada di Jl. Kyai Tapa. Namun lahan yg didapat Jl. Tomang Utara maka antara SK dan pelaksanaan berbeda. Meskipun dalam lampiran SK Gubernur terdapat gambar lokasi yang dihitamkan seakan-akan itulah yang ditunjuk namun kenyataan lahan di Jl. Tomang Utara.
- KUPA 2014 poin 2.3.2. huruf b.5 mematikan pembebasan lahan yang tidak mungkin dilaksanakan karena administrasi tidak lengkap. Hal ini bertentangan dengan lahan RSSW karena semua administrasi belum lengkap. Sedangkan di huruf d.5 kegiatan baru kriteria sifat mendesak yang dapat dituntaskan tahun 2014.
- Sesuai UU Yayasan pelepasan aset harus sesuai dengan tujuan yayasan baik peruntukan setelah dijual dan peruntukan hasil penjualan. Dengan belum jelasnya penggunaan uang hasil penjualan maka transaksi BPN belum dapat dilakukan. Contoh kasus 3 Yayasan di Semarang.
- Semua pajak terhutang (1994-2014) harus lunas dulu sebelum dilakukan pembayaran 755 M, namun belum dibayar pajak tapi sudah dibayar lunas. Pajak 2013-2014 baru dibayar Maret 2015, artinya uang bayar pajak adalah hasil penjualan lahan. Pajak terhutang 20 tahun adalah semata-mata ketidakpatuhan sehingga tidak layak mendapat keringanan. Kurun waktu 1994-2005 adalah masa jaya RSSW sehingga waktu itu harus taat bayar pajak.
- Pemberian diskon 50% pajak terhutang 2013-2014 pada November 2014 indikasi untuk bagian permufakatan jahat karena waktu bersamaan sedang terjadi proses pelepasan/pembelian lahan RSSW. Syarat keringanan mestinya tidak dapat diberikan karena Pemprov DKI jelas-jelas mengetahui lahan akan dibeli dengan nilai besar sehingga tidak layak dapat diskon. Ini jelas korupsi tersendiri karena mengurangi hak negara.
- SK Gubernur tanggal 10 Desember, sedang pembatalan YKSW dan PT Ciputra ditandatangani Notaris tanggal 11 Desember 2014. SK jika mengacu SHGB maka batal, jika tidak mengacu SHGB maka harus dilaksanakan rigid yaitu lokasi secara de facto di Jl. Kyai Tapa.
- Pembelian lahan tidak terdapat penawaran harga tanah karena sepenuhnya disetujui dari penawaran. Sedangkan nilai bangunan tidak dihitung karena de facto bangunan tua yang kemudian harus dirobohkan. Atau untuk masing-masing bangunan dan tanah harus terdapat negoisasi penawaran pembelian yang lebih rendah.
- Surat Kadinas Kes kepada Dinas Pajak tanggal 16 Desember 2014, Jawaban tanggal 29 Desmber 2014, Pembetulan Pajak 2013 dan 2014 dikeluarkan tanggal 15 Maret 2015. Sejak kapan diketahui NJOP 2014 sebesar 20 jt/m2 karena SK Kadinkes tentang harga pembelian tanah 755 M dibuat tanggal 11-12-2014. Lebih aneh kesepakatan harga pembelian dibuat tanggal 10 Desember 2014.
- Penentuan nilai NJOP dan SPT sejak 2013 diserahkan kepada Daerah, jadi jika Dirjen Pajak menentukan Zona PP… semestinya usulan dari Daerah. Bahwa klaim Zona PP… ditentukan Pusat adalah sangat tidak benar. Harus ditanyakan kepada Dirjen Pajak mekanisme Zona PP….
- RPJMD 2012-2017 dan Musrenbang 2014 tidak mencantumkan pembangunan RS Kanker dan Jantung.
- Misi visi kesehatan DKI berupa Puskesmas Rawat Inap dan RS Pasar Minggu, tidak ada RS Kanker dan Jantung.
- Nilai harga pembelian antara RSSW dengan PT Ciputra Karya Utama adalah 563 Milyar dan berlaku untuk tahun 2013-2014. Jadi nilai ini mestinya jadi patokan maksimal pembelian Pemprov DKI kepada RSSW tetapi kenyataan lebih mahal 755 Milyar. PT Ciputra dengan rencana peruntukan untuk hotel, apartemen dan mall hanya berani beli 563 M, lha masak Pemprof DKI yang rencana hanya untuk Rumah Sakit malah membeli dengan harga lebih mahal.
- Apresial dibuat tahun 2015 senilai 900 M tidak dapat jadi pedoman tahun 2014. Jangankan 900 M, jika 2 Trilyun maka tetap tidak terkait tahun 2014.
- Lahan RSSW tidak siap bangun, banjir dan tidak ada akses bagus karena ditengah pemukiman. Hal ini berdasar cek lapangan lahan di belakang Roxy Square, sama sekali tidak berhadapan dengan jalan Kyai Tapa. Jaraknya sekitar 20 M.
- Bentuk lahan secara hongsui dan fengsui tidak bagus. Lahan berbentuk lebar depan dan mengecil kebelakang bahkan lahan punya ekor sehingga nilainya pasti rendah.
- Proses penyusunan APBD-P nomenklatur pembelian lahan RSSW tidak transparan karena terjadi Penyusupan seperti UPS.
- Evaluasi Mendagri tidak ada tindak lanjut selama 7 hari sehingga alokasi biaya pembelian RSSW cacat dan tidak dapat dilaksanakan pada TA 2014.
- Biaya Apresial sudah dianggarkan tahun 2014 sebesar 300 juta, namun sengaja hal ini tidak dilaksanakan dan baru dilaksanakan pada Maret 2015. Apresial 2015 dibiayai dari mana? Karena 300 jt tidak dipakai mestinya jadi Silpa, sedang APBD 2015 murni mestinya tidak menganggarkan biaya apresial.
- Meskipun pengadaan tanah dibawah 5 hektar namun prinsip-prinsip UU 2/2012 dan Perpres 71/2012 tetaplah harus dipedomani sehingga tidak masuk PMH, misal Perencanaan tanah harus memuat dokumen: Maksud dan Tujuan, Letak Tanah, Luas yang dibutuhkan, status tanah, dan Perkiraan nilai tanah (dimaknai apresial), serta rencana penganggaran tanah. Juga terdapat study kelayakan. Hal ini semua tidak terdapat pada RSSW.
- Dengan kondisi tidak sah dan cacat maka harus batal karena uang yang keluar adalah TOTAL LOST. Atau setidak-tidaknya dapat dipulihkan kerugian negara dengan cara melakukan langkah secara keselurahan tanpa perpisah 3 poin dibawah ini (minimal 2 poin yang atas) : Pengembalian selisih Rp. 191 M, Merubah lahan secara de facto dari Jl. Tomang Utara menjadi Jl. Kyai Tapa, Pembayaran pajak terhutang RSSW 1994-2014 Rp. 3 M.
- Terdapat surat pernyataan Kadinkes Dien Enawati yang akan bertanggungjwab apabila terdapat permasalahan. Hal ini dapat dipakai Ahok untuk buang badan.
- Biaya pelepasan hak (menstinya termasuk biaya memeperoleh hak) karena menjadi beban YKSW maka semestinya sejumlah dana untuk itu ditahan atau memakai bank garansi sehingga nantinya biaya pelepasan hak akan tetap terbayar dari YKSW. Dengan dibayar lunas maka terdapat potensi ingkar janji maka seharusnya Pemprov DKI meminta Bank Garansi. Tanpa penyanderaan dan bank garansi untuk biaya pelepasan hak maka penyimpangan.
- SK Gubernur luas lahan 36.753 m2 prakteknya hanya dapat seluas 36.410 m2. Selisihnya sekitar 343 m2. Jika dihitung kurang lahan 343 X Rp. 20.755.000 = Rp. 7.118.965.000,- ????
- Harga perbandingan apresial berupa harga penawaran 4 lahan disekitarnya sebelah utara yang mana harga penawaran tersebut ada pembelinya, mestinya harga apresial adalah harga transaksi bukan harga penawaran.
- Apresial juga ikut mengaburkan lokasi lahan dari fakta, misal batas utara Jl. Kyai Tapa dan batas barat pemukiman. Fakta sebelah utara Jl. Tomang Utara dan barat RSSW asli.
- Harga perbandingan tanah dibeli CKU dengan nilai 564.355.000.000,- dengan peruntukan Apartemen/hotel/mall. Sehingga apabila peruntukan tetap untuk rumah sakit maka semestinya hanya 75% dari harga CKU. BPK sudah bermurah hati hanya hitung selisih CKU dengan harga pembelian Pemprov DKI.
- SK Kadinkes tanggl 8 Agustus 2014 judul pembentukan tim pembelian RSSW (sudah menyebut lahan RSSW), padahal SK Gubernur tentang Penetapan Lokasi Pembangunan RS Kanker baru dibuat tanggal 10 Desember 2014 dan hanya menyebut lokasi Jl. Kyai Tapa tanpa menyebut lahan milik RSSW. Artinya Kadinkes telah mendahului atau disuruh mendahului SK Gubernur karena terhalang perjanjian CKU dan YSSW. ■dam
Luar biasa, dokumentasi dalam pelepasan Rssw sangat jelas akal2an terjadi kesefakatan jahat yg merugikan Negara, Kpk harus segera menindak lanjuti. Jangan sampai Kpk juga jadi mandul karena takut.