SwaraSenayan.com. Dua tahun sudah Jokowi memimpin perahu besar bernama Indonesia mengarungi samudera kehidupan. 2 tahun jugalah pemerintahan ini tidak juga menemukan ritme pemerintahan yang benar-benar bekerja kepada negara dan rakyat.
“2 tahun rejim ini sibuk memperkuat kekuasaan dan sibuk dengan segala kegaduhannya baik di internal kabinet maupun kegaduhan ditengah publik akibat ulah kabinet pimpinan Presiden Jokowi,” demikian pernyataan Ferdinand Hutahaean Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) kepada SWARA SENAYAN (20/10/2016).
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menurut Ferdinand menjadi salah satu sektor yang tingkat gaduhnya cukup mendominasi perjalanan rejim 2 tahun Jokowi. Sejak Jokowi menyusun kabinetnya, sektor ESDM adalah salah satu sektor yang memproduksi kegaduhan cukup tinggi hingga dalam 2 tahun, Kementrian ini sudah dipimpin oleh 4 menteri yang mana salah satunya adalah PLT yang cukup lama.
Diawali oleh oleh Sudirman Said, kemudian diganti oleh Archandra Tahar dalam 20 hari, kemudian dilanjutkan PLT Menteri ESDM Luhut Panjaitan dan sekarang oleh Ignasius Jonan didampingi Archandra Tahar. “Menteri dan Wamen daur ulang dari kegagalan kinerja kabinet. Sudah dibuang, diambil lagi, seolah negara ini tidak lagi memiliki sumber daya manusia yang mampu,” tegas Ferdinand.
Tapi, lanjutnya, biarlah itu menjadi hak prerogratif presiden dan harus kita hormati meski masyarakat juga berhak mengkritisi. Paling penting adalah sikap kritis masyarakat sebagai bagian pengawasan dan kontrol jangan dianggap menyerang pemerintah hingga harus diancam buldozer oleh Menko Maritim Luhut Panjaitan.
Awal kabinet terbentuk, kata Ferdinand, sektor ESDM punya mimpi mulia dan tugas berat dari Presiden. Mimpi dan tugas itu diantaranya adalah pemberantasan mafia migas, evaluasi kontrak Freeport, Revisi UU Migas, Listrik 35.000 MW, pembangunan kilang minyak dan peningkatan angka lifting produksi minyak serta pembangunan smelter.
EWI juga mengkritisi bagaimanan pemberantasan mafia migas yang dilakukan oleh rejim ini seperti menetapkan tujuan perjalanan ke Utara tapi menempuh jalan ke Selatan, akhirnya tujuan tidak pernah tercapai karena salah jalan. “Tujuan mulia tapi ditempuh dengan solusi yang salah dan tidak tepat yang pada akhirnya hanya menyisakan retorika pemberantasan mafia,” kata Ferdinand.
Selain itu, EWI juga mengetengahkan bahwa Petral yang diduga jadi sarang mafia sudah diaudit dan hasilnya menyimpulkan adanya intervensi dari kelompok usaha tertentu yang mengakibatkan terbentuknya kartel dan memperkaya kelompok usaha tersebut dan mungkin orang dalam Petral. Namun hingga kini, pembubaran Petral tidak jelas dan tindak lanjut hukum atas hasil audit Petral tidak ada.
“Inilah retorika pemberantasan mafia migas. Hingga tokoh sentral yang diduga sebagai mafia migas justru muncul dalam skandal Papa Minta Saham yang juga kemudian berakhir sebagai lelucon belaka tanpa tindakan hukum meski Presiden Jokowi terlihat marah karena namanya disebut-sebut dalam skandal tersebut,” ujarnya.
Dari Freeport Hingga Energi Baru Terbarukan yang Diabaikan
Evaluasi atas kontrak PT Freeport Indonesia kini tidak jelas dan mengambang, sementara Freeport terus bebas menabraki UU Minerba atas persetujuan pemerintah dan terakhir Archandra Tahar memberikan rekomendasi ekspor konsentrat kepada Freeport sebesar 1,4 Juta MT. “Pelecehan luar biasa terhadap UU Minerba yang juga dibiarkan oleh DPR tanpa reaksi,” ujar Ferdinand dengan nada kritis.
Menurutnya, pembangunan smelter yang diwajibkan oleh UU Minerba No. 4 Tahun 2009 bahkan akan ditabrak dengan PP. Dibawah Luhut Panjaitan, upaya relaksasi ekspor konsentrat bergema sangat besar. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap UU meski dalam beberapa kesempatan Luhut Panjaitan selalu mengklaim diri sebagai sosok yang taat hukum. Tapi fakta kebijakannya justru menabraki UU termasuk keputusannya meneruskan reklamasi pantai utara Jakarta yang meski sudah ada keputusan pengadilan menghentikan reklamasi terhadap pulau G. Pembangunan smelter tidak pernah dimaksimalkan oleh pemerintah ini selama 2 tahun bahkan Smelter Freeport yang katanya akan dibangun di Gresik tidak pernah terwujud bahkan hanya mengelabui negara ini. Tapi pemerintahan Jokowi membiarkan itu terjadi tanpa tindakan tegas kepada Freeport.
EWI juga menyoroti bahwa pencanangan listrik 35.000 MW yang merupakan program prestisius Presiden Jokowi inipun kini dipastikan akan gagal. Target 35 GW itu memang benar sesuai dengan kebutuhan bangsa untuk menumbuhkan bangsa ini menjadi negara industri dan menjadikan rasio elektrifikasi mendekati 100% Indonesia.
“Sayangnya program ini terlalu lama hanya jadi sekedar trending topik. Program luar biasa yang ditangani dengan cara-cara yang biasa. Skema dan pola pemerintah merekrut investor di sektor ini sangat rumit, bertele-tele bahkan sarat dengan segala macam kepentingan sehingga program ini tidak bisa berjalan sesuai harapan presiden,” tuturnya.
Seharusnya, menurut EWI, pemerintah cukup menyiapkan lahan dan melakukan beauty contest terhadap calon investor. Tapi karena Dirut BUMN adalah orang kesayangan Rini Soemarno sang Menteri BUMN maka Jokowi pun terlihat gamang untuk mengambil langkah strategis dan taktis termasuk kebutuhan mengganti Dirut PLN dengan orang yang lebih tepat tidak bisa terlaksana.
Karena kegamangan dan pembiaran ini, maka sudah hebat jika 2019 program ini bisa menghasilkan maksimum 15.000 MW. “Itu sudah luar biasa jika tercapai karena masalah di sektor ini sangat rumit tapi tidak ada yang mengawal supaya kebijakan ini bisa berjalan dilapangan,” tandas Ferdinand.
Sepertinya Indonesia menurut EWI harus mempersiapkan diri membayar denda kepada pihak IPP dengan nilai trilliunan setiap bulannya karena ketidak siapan jaringan transmisi dan distribusi listrik kepada konsumen. Akhirnya daya tidak listrik tidak terjual. Contoh paling dekat adalah transmisi Unggaran hingga Mandirancan yang mengancam nilai denda sekitar 3T setiap bulan jika akhir 2018 tidak selesai. Dan menteri menteri pengganti Sudirman Said tidak ada yang fokus disini karena memang tidak paham.
Di sektor Migas, lanjut Ferdinand arah kebijakan sebetulnya sudah lumayan bagus meski perjalanan menuju tujuan itu masih perlu lebih taktis. Rencana pembangunan kilang minyak yang digagas adalah kebijakan bagus, tinggal sekarang memastikan bagaimana kilang itu segera dibangun dan tidak sekedar basa-basi.
Langkah pertamina yang aktif mengakuisisi blok minyak diluar juga patut didukung karena itu bagian dari menjamin pasokan minyak bagi negara kita yang memang cadangan minyaknya sudah usia senja dan akan segera habis.
Masalah yang masih belum tertangani adalah kebijakan tentang harga gas industri yang masih belum bisa diatasi pemerintah. Harga Gas ini akan menjadi sulit dikendalikan jika masalah hulunya tidak segera diselesikan mulai dari RUU Migas, holding company dan penghapusan trader-trader gas yang terlalu panjang rantainya dan mengakibatkan harga mahal di hilirnya.
“Keberanian perlu diambil oleh pemerintah dan tidak menunggu lebih lama apalagi berpikir untuk impor gas demi mengatasi harga gas mahal. Itu bukan solusi cepat. Langkah tegas yang harus diambil yaitu memastikan gas dari hulu ke hilirnya hingga ke end user tidak boleh panjang rantai marketnya. Solusinya disitu supaya harga bisa ditekan dan bukan berupaya untuk impor,” papar Ferdinand.
Masih banyak masalah di sektor ESDM yang tidak tertangani secara tepat. Karena itu, EWI mendesak pengelolaan di sektor ESDM ini butuh sentuhan sosok yang paham masalah dan paham solusi atas masalah tersebut. Namun entah mengapa Presiden berlama-lama menunjuk menteri defenitif dan sekalinya menetapkan menteri, justru yang dipilih orang yang tidak tepat di sektor ini.
“Namun demikian, kita lihat kedepan arahnya seperti apa dan akan kemana sektor ini berlayar. Karena hingga saat ini, 2 tahun rejim Jokowi masih gamang dan belum punya arah pasti. Belum lagi masalah energi baru yang terabaikan dan belum jadi prioritas. Semoga Pemerintahan ini segera sadar betapa pentingnya sektor ESDM ini diurus dengan benar oleh orang yang tepat karena sektor ini adalah salah satu nadi kehidupan bangsa,” pungkasnya. *MTQ